Skip to main content

Surga di Tikungan, Neraka di Lampu Merah


Ada satu keistimewaan hidup di negeri ini yang mungkin tidak banyak disadari: pahala itu bisa datang tiba-tiba, tanpa direncanakan, tanpa harus repot-repot berbuat baik secara sadar. Hidup saja sudah dapat bonus amal. Kok bisa? Ya karena kezaliman yang merajalela seolah jadi mesin ATM pahala bagi rakyat yang kena getahnya.

Coba bayangkan, Anda sedang berkendara dengan patuh. Lampu merah menyala, Anda berhenti seperti warga negara yang taat hukum. Tapi tiba-tiba dari belakang, mobil berpelat nomor 'pejabat style' nyelonong lewat tanpa rasa bersalah. Polisi yang berdiri di pojokan malah pura-pura main HP, entah nonton video kucing atau skimming berita tentang "integritas aparat." Anda yang berhenti dengan taat aturan malah berujung kena klakson mobil belakang yang nggak sabaran. Di situ Anda marah? Jangan. Tahan emosi. Ingat, pahala sedang menetes ke tabungan akhirat Anda.

Masih kurang contoh? Oke, coba saat Anda sakit dan pergi ke rumah sakit pemerintah. Anda antre panjang, sambil berusaha tidak pingsan karena demam sudah bikin kepala Anda berputar seperti kaset pita lawas. Lalu, datanglah seseorang dengan "koneksi" yang entah bagaimana bisa langsung ditangani duluan. Anda yang sabar menunggu hanya bisa menghela napas. Tapi tenang saja, saat itu, pahala sabar Anda barangkali sudah sampai level VIP.

Kehidupan di Indonesia ini memang seperti ikut acara kuis yang hadiahnya pahala. Anda nggak tahu kapan giliran Anda dapat "bonus amal." Kadang saat Anda berjuang untuk hidup jujur, amanah, dan lurus, justru di situlah ujian pahala paling besar datang. Orang yang berusaha jujur di negeri ini sering terlihat seperti orang aneh, seperti anak yang bawa bekal sayur bayam di tengah teman-temannya yang makan ayam geprek pedas level 15.

Lihat saja mereka yang menolak suap. Dibilang "nggak tahu cara hidup," dianggap "terlalu polos," bahkan kadang dijauhi teman sejawat. Padahal, jika mereka tetap teguh, di situlah saldo pahala mereka makin menggelembung tanpa mereka sadari.

Di sisi lain, para pelaku kezaliman sepertinya begitu kreatif menemukan celah baru untuk memeras, mengakali, dan menindas. Ada yang menyelipkan pungli dalam pelayanan, ada yang menjadikan proyek fiktif sebagai ladang cuan, dan ada juga yang berinovasi dengan modus-modus baru yang bahkan penulis skenario film thriller pun nggak sanggup membayangkannya.

Tapi sabar saja. Para korban yang terpaksa senyum sambil menelan pahitnya ketidakadilan ini adalah pemenang sejati. Setiap keluhan yang tertahan, setiap air mata yang diam-diam jatuh di pojokan rumah karena gaji yang nggak cukup buat bayar listrik, setiap rasa lapar yang ditahan karena harga bahan pokok lebih mahal daripada harga diri koruptor — semua itu pahala, Bro!

Lucunya, orang Indonesia itu luar biasa kuat mentalnya. Mereka bukan hanya mampu bertahan, tapi juga bisa ketawa di tengah penderitaan. Tarif parkir naik? Ketawa. Pajak makin menggila? Ketawa. Harga cabai setara harga emas? Yaudah ketawa aja. Karena apa? Karena mereka tahu, di tengah semua kekacauan ini, pahala mereka sedang diisi ulang seperti pulsa darurat.

Tapi jangan salah, sabar itu bukan berarti diam terus-menerus. Ada titik di mana rakyat yang kelihatannya "tegar" ini bisa tiba-tiba meledak dengan emosi yang dahsyat. Bisa dalam bentuk aksi demonstrasi, bisa lewat meme sindiran di media sosial, atau bahkan sekadar komedi receh yang nyindir tajam. Dan di situlah kehebatan orang Indonesia: marahnya pun kreatif.

Jadi kalau Anda merasa hidup ini terlalu berat, terlalu banyak ketidakadilan, terlalu sering jadi korban ulah para pelaku kuasa yang seolah kebal dosa — tenang saja. Anggap saja Anda sedang menabung bekal akhirat dalam bentuk premium.

Sebab di negeri ini, setiap ketidakadilan yang Anda terima, setiap hak yang dirampas, dan setiap rasa sabar yang Anda tahan — semuanya bisa jadi bukti kuat bahwa Anda adalah manusia tangguh yang diam-diam punya tabungan surga terbesar di dunia. Maka bersiaplah, mungkin saat Anda tiba di akhirat nanti, Anda akan kaget saat tahu berapa banyak pahala yang Anda kumpulkan hanya dengan bersabar menghadapi negeri yang lucunya tak pernah habis bahan untuk disindir.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...