Skip to main content

Untuk Cookie, di mana pun kamu sekarang

 

Cookie tersayang,

Hari ini, rumah terasa lebih sunyi. Tidak ada suara langkahmu yang pelan, tidak ada tatapan matamu yang lembut, dan tidak ada sentuhan hangat tubuhmu yang dulu selalu mencari tempat di samping kami. Hari ini, kami harus belajar merelakan, meski hati belum siap.

Kamu sudah lebih dari sekadar kucing. Kamu adalah keluarga. Sepuluh tahun lebih kamu menemani kami — dari pagi yang riuh sampai malam yang hening, dari tawa sampai air mata. Kamu hadir dalam setiap momen kecil kami, diam-diam mengikatkan diri lebih dalam dari yang pernah kami sadari.

Kami ingat betul bagaimana kamu tak pernah sekalipun merepotkan. Kamu anak yang baik. Tidak pernah mencuri makanan, tidak pernah marah, bahkan saat tubuhmu mulai renta dan sakit pun, kamu tetap lembut. Tidak ada cakar, tidak ada gigitan. Hanya tatapan penuh percaya dan cinta yang membuat kami semakin hancur melihatmu lemah.

Istriku, yang dengan sabar menyuapi dan membujukmu makan, menangis hari ini. Tapi juga bersyukur, karena kamu pergi dengan tenang. Dalam pelukan cinta, dalam bisikan lembut, dalam damai yang sepantasnya kamu terima setelah semua kebaikanmu.

Kami tidak ingin mengingatmu sebagai sosok lemah di akhir hayatmu. Tidak, Cookie. Kami ingin mengingatmu seperti dulu — lucu, gembul, dan penuh semangat. Yang selalu ingin dekat, yang membiarkan kakinya dibersihkan sebelum naik ke tempat tidur, yang datang menghampiri saat kami sedang sedih, dan yang tak pernah lelah menghibur dengan caramu yang unik.

Cookie, terima kasih. Untuk segalanya. Untuk cinta yang tidak bersyarat, untuk kesetiaan yang tidak tergoyahkan, untuk semua momen yang sekarang menjadi kenangan paling indah.

Kalau nanti surga benar-benar ada untuk makhluk kecil seperti kamu, kami mohon — tunggulah kami di sana. Kita akan bertemu lagi. Dalam pelukan hangat yang tak akan pernah dipisahkan oleh waktu atau sakit.

Tidurlah, sayang. Dalam damai dan cahaya.

Dengan cinta yang tak akan habis,
Keluargamu

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...