Skip to main content

Keringat Kering, Hati Terbakar: Ketika Freelancer Diperlakukan Seperti Debu Siaran


Di dunia penyiaran, glamornya layar kaca ternyata tak mampu menutupi satu fakta busuk: freelancer dibayar semaunya, bukan semestinya. Di balik tawa presenter dan gemerlap lighting, ada pekerja lepas yang haknya ditahan berbulan-bulan—tanpa malu, tanpa empati, dan seringkali, tanpa alasan logis.

Kami, para freelancer, bukan figuran dalam ekonomi industri kreatif. Kami menyumbangkan suara, ide, dan waktu tidur demi siaran yang katanya "berkelas." Tapi giliran bayar? Tunggu tayang dulu, katanya. Enam bulan belum juga lunas, katanya. Yang baru dibayar ya 3 bulan aja dulu, katanya. Yang penting “kerjasamanya tetap terjalin”, katanya. Seolah hak pekerja adalah opsional, bukan kewajiban.

Dan untuk para petinggi produksi yang mungkin tidak takut pada pasal kontrak, izinkan saya memperkenalkan Anda pada satu “musuh” yang tidak bisa Anda tuntut balik di pengadilan negeri.

Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits shahih riwayat Bukhari:

"Allah berfirman: Ada tiga golongan yang akan Aku musuhi pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan pekerja lalu mengambil seluruh tenaganya namun tidak membayarkan upahnya."
(HR. Bukhari no. 2227)

Bukan LBH, bukan serikat buruh, bukan LSM—tapi Allah langsung yang akan menjadi musuh Anda. Dan Anda tahu betapa mustahilnya menang dalam sengketa melawan Tuhan.

Sayangnya, sebagian perusahaan bersikap seolah freelancer itu bukan manusia, melainkan pending invoice hidup yang bisa ditiadakan dengan kalimat, “Nanti kami follow up ke bagian keuangan ya, Pak.” Seolah kami tidak bayar listrik. Seolah kami tidak makan. Seolah kami tidak punya keluarga.

Islam, bahkan dalam hadits dhaif sekalipun, mengajarkan satu prinsip indah:

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering.”
(HR. Ibnu Majah)

Meski derajatnya lemah, maknanya jelas: segera, jangan tunda, jangan beralasan. Tapi sebagian dari kalian malah menunggu sampai bukan hanya keringatnya mengering, tapi semangatnya juga habis.

Sungguh, kalau kalian lebih takut kepada laporan rating ketimbang laporan amal, maka kalian memang bukan hanya zalim—tapi juga kehilangan arah sebagai manusia.

Mungkin sudah saatnya hadits ini dipajang di kantor HRD, dicetak besar dan ditempel di ruang produksi:
"Barang siapa menunda upah pekerja tanpa alasan yang sah, maka ia telah menzalimi."
Dan semoga yang membaca bukan hanya OB.

Karena kami bukan relawan. Kami bukan sisa-sisa footage. Kami bukan "nanti juga dibayar, tenang aja". Kami adalah manusia, yang keringatnya membawa keberkahan—bagi yang berani berlaku adil.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...