I. Janji: Lapangan Kerja Made in PowerPoint
Pemerintah begitu percaya diri: investasi akan datang berbondong-bondong seperti jamaah haji ke tanah suci. Sementara rakyat disuruh bersabar karena pekerjaan akan terbuka seperti jalan tol di hari peresmian. UU Cipta Kerja pun dihadirkan seperti dewa penolong, disusun buru-buru dalam malam gelap saat rakyat tertidur, lalu disahkan dengan semangat gotong-royong lintas partai yang tiba-tiba sangat kompak—mungkin hanya bisa disaingi kekompakan mafia parkir.
Tapi semua itu ternyata lebih cocok jadi slide presentasi daripada kenyataan hidup. Lapangan kerja yang dijanjikan ternyata kerja-kerja serabutan dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial, dan tanpa masa depan. Cocok untuk pekerja yang sudah menyerah pada harapan.
II. Realita: Republik Pemutusan Hubungan Kerja
Sementara janji kerja terus didengungkan dari podium dan baliho, di lapangan, kenyataannya justru seperti parade pemakaman massal bagi para pekerja. PHK terjadi bergelombang: dari industri tekstil yang konon sudah bernapas sejak zaman kolonial, sampai startup yang katanya unicorn tapi ternyata berubah jadi kuda lumping—hilang modal, buang orang.
Lucunya, setiap kali ada PHK massal, negara mendadak hilang dari layar. Seperti sinyal ponsel di daerah terpencil, dia hanya muncul kalau ada pencitraan. Tapi begitu rakyat butuh perlindungan, negara berubah jadi makhluk gaib: tidak terlihat, tidak terdengar, dan tentu saja—tidak bertanggung jawab.
III. Retorika Negara: Dari Buzzer ke Basi
Pejabat pun mulai menghibur diri. “Tenang, angka pengangguran menurun!” katanya. Tapi tak dijelaskan bahwa penurunannya karena banyak yang akhirnya jadi ojek online, dropshipper, atau buzzer politik. Semua dihitung sebagai “pekerja”—padahal kenyataannya, lebih mirip pejuang bertahan hidup.
Ironi terbesar adalah ketika para petinggi menyalahkan rakyat sendiri: “Kurangnya skill.” Padahal yang kekurangan skill justru banyak duduk di pemerintahan. Mereka tak tahu bagaimana sulitnya cari kerja, tapi sangat tahu bagaimana menyusun narasi indah untuk menyembunyikan bencana ekonomi.
Kita hidup di negara di mana yang diberhentikan bukan hanya buruh, tapi juga logika. Di mana narasi lebih penting daripada nasi.
IV. Pembangunan untuk Siapa?
Pembangunan terus digenjot, katanya demi kemajuan bangsa. Tapi kita tahu, yang paling menikmati jalan tol bukan buruh, tapi mobil dinas. Yang mendapat insentif bukan pedagang kaki lima, tapi investor besar yang bahkan tak bisa menyebut nama kota tempat mereka berinvestasi.
Rakyat disuruh bersabar, bekerja keras, dan jangan iri pada yang kaya. Tapi tak ada yang menjelaskan mengapa orang kaya makin kaya justru saat rakyat semakin dipaksa hidup dari utang dan cicilan. Negara ini bukan hanya gagal membuka lapangan kerja—ia sedang menutup harapan.
V. Kesimpulan: Rezim yang Kerjanya Memecat
Jika rezim ini terus-menerus gagal memenuhi satu janji paling dasar—yakni hak rakyat untuk bekerja dengan layak—maka pantas jika rakyat bertanya: untuk apa kekuasaan itu kalian genggam? Untuk memecat lebih banyak orang?
Barangkali rezim ini memang ahli membuka sesuatu—tapi yang mereka buka bukan lapangan kerja, melainkan peluang bagi korporasi memeras buruh. Mereka jago membuka akses—tapi akses bagi pengusaha menurunkan gaji. Mereka sukses membuka peluang—peluang PHK massal yang dibungkus dengan kata “restrukturisasi.”
Dan dalam semua ini, yang benar-benar bekerja keras hanyalah para buzzer. Membela kebijakan tanpa logika, menyerang rakyat dengan narasi murahan, dan menjaga citra pemerintah seolah semuanya baik-baik saja.
Kalau begini caranya, mungkin lebih jujur kalau pemerintah mencetak kartu kerja dengan tulisan: “Selamat datang di Republik Pemutusan Hubungan Kerja. Silakan antri di bawah bayang-bayang janji.”
Comments
Post a Comment