Skip to main content

Lelaki Tidak Bercerita: Antara Ekspektasi dan Kesehatan Mental

 

Ketika Lelaki Memilih Diam

Ada satu hal yang sering terjadi, tapi jarang dibahas dengan serius: laki-laki dan kebiasaannya menahan cerita. Mereka lebih memilih diam, menyimpan sendiri segala rasa sakit, ketakutan, dan kegelisahan dalam hati. Bukan karena mereka tidak ingin berbagi, tetapi karena dunia mengajarkan bahwa bercerita bukanlah sesuatu yang seharusnya mereka lakukan.

Sejak kecil, laki-laki sering mendengar kalimat seperti "Jangan cengeng!""Laki-laki harus kuat!", atau "Jangan terlalu banyak mengeluh!" Kata-kata ini secara tidak langsung membentuk pola pikir bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan. Padahal, semua orang, termasuk laki-laki, memiliki batas kesabaran dan ketahanan emosional.

Maskulinitas dan Beban Emosi yang Terpendam

Dalam psikologi, ada istilah toxic masculinity yang menggambarkan ekspektasi sosial bahwa laki-laki harus selalu kuat, tangguh, dan mandiri. Konsep ini bukan hanya membuat laki-laki sulit untuk berbicara, tetapi juga menekan mereka agar tidak menunjukkan kelemahan sedikit pun.

Salah satu dampak dari tekanan ini adalah alexithymia, kondisi di mana seseorang kesulitan mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya. Banyak laki-laki mengalami ini tanpa menyadarinya. Mereka bisa merasa sedih, cemas, atau marah, tetapi tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan kata-kata. Akibatnya, emosi itu berubah menjadi stres berkepanjangan, gangguan tidur, atau bahkan gejala psikosomatik—di mana masalah psikologis mulai memengaruhi kondisi fisik, seperti sakit kepala, nyeri otot, atau gangguan pencernaan.

Ketika Beban Itu Menjadi Terlalu Berat

Belakangan ini, semakin banyak video yang beredar di media sosial yang menunjukkan laki-laki menangis sendirian atau berteriak di tempat sepi. Video-video ini menggambarkan betapa beratnya beban yang mereka simpan sendiri. Ada sesuatu yang begitu jujur dalam ekspresi mereka—bukan karena mereka lemah, tetapi justru karena mereka sudah terlalu lama memendam segalanya tanpa tahu harus bagaimana.

Banyak yang akhirnya memilih cara pelampiasan yang tidak selalu sehat. Ada yang melampiaskannya dengan agresi, baik secara verbal maupun fisik. Ada yang memilih untuk menghindari perasaan itu dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan atau hobi tertentu. Dan dalam beberapa kasus, ada yang justru menarik diri dari kehidupan sosial, merasa tidak punya tempat untuk berbagi.

Di saat beban semakin menumpuk, beberapa dari mereka akhirnya merasa bahwa satu-satunya jalan keluar adalah menyerah pada hidup. Fakta bahwa kasus bunuh diri di kalangan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Bukan karena mereka lebih lemah, tetapi karena mereka tidak terbiasa mencari pertolongan.

Kekuatan Sejati Ada dalam Kerentanan

Di balik semua ini, ada satu hal yang perlu diperbaiki: persepsi tentang maskulinitas. Kekuatan sejati bukanlah soal menahan semua rasa sakit tanpa mengeluh. Justru, keberanian terbesar adalah saat seseorang bisa mengakui bahwa dirinya tidak baik-baik saja dan butuh dukungan.

Dalam psikologi, konsep ini dikenal sebagai emotional intelligence—kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi dengan sehat. Orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi justru lebih mampu menghadapi tantangan hidup dengan baik, karena mereka tidak menumpuk beban tanpa solusi.

Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah membangun lingkungan yang lebih aman bagi laki-laki untuk berbicara. Tidak harus langsung berbagi dengan banyak orang—cukup memiliki satu atau dua teman dekat yang bisa dipercaya sudah sangat membantu. Menemukan ruang untuk mengekspresikan diri, entah melalui tulisan, musik, olahraga, atau terapi, juga bisa menjadi cara yang efektif untuk mengelola emosi.

Cara Melepaskan Beban dengan Sehat

Ada sebuah konsep dalam psikologi bernama catharsis, yaitu pelepasan emosi yang sudah lama terpendam. Ini bisa terjadi ketika seseorang akhirnya menangis setelah bertahun-tahun menahan, atau ketika mereka akhirnya berani berbicara tentang sesuatu yang selama ini mengganggu mereka. Momen ini bisa sangat melegakan, karena tubuh dan pikiran akhirnya mendapat kesempatan untuk bernapas.

Beberapa cara sehat yang bisa dilakukan untuk membantu laki-laki lebih terbuka dalam menghadapi emosi mereka:

  1. Menemukan Ruang Aman – Bicaralah dengan teman yang bisa dipercaya, pasangan, atau bahkan seorang profesional. Tidak semua orang bisa mengerti, tetapi ada banyak yang mau mendengarkan.

  2. Menyalurkan Emosi Lewat Aktivitas – Olahraga, menulis, menggambar, atau bahkan sekadar berjalan-jalan bisa membantu melepaskan ketegangan.

  3. Menerima Bahwa Emosi Itu Normal – Tidak ada yang salah dengan merasa sedih, marah, atau takut. Semua manusia mengalaminya, dan itu tidak membuat seseorang menjadi kurang "laki-laki".

  4. Mendobrak Stigma – Beranilah untuk berbicara dan menunjukkan bahwa laki-laki juga manusia. Dengan semakin banyak yang terbuka, semakin mudah bagi orang lain untuk ikut melakukannya.

Setiap Orang Butuh Tempat Bercerita

Mengubah budaya memang tidak bisa dilakukan dalam semalam. Tapi setiap langkah kecil yang kita ambil untuk mendukung satu sama lain bisa membawa perubahan besar. Laki-laki juga manusia, dan mereka berhak untuk merasa, berbicara, dan didengar.

Jika ada seseorang di sekitarmu yang tampak lebih diam dari biasanya, cobalah tanyakan kabarnya. Bukan sekadar basa-basi, tetapi dengan niat benar-benar ingin tahu. Kadang, satu pertanyaan sederhana bisa menjadi awal dari sesuatu yang menyelamatkan.

Karena pada akhirnya, semua orang butuh tempat untuk bercerita.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...