Skip to main content

Mata Uang Baru: Apakah Kita Siap Menukar Retina dengan Kripto?

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan oleh berita tentang warga yang menerima Rp800.000 setelah memindai retina mereka untuk proyek Worldcoin. Sebagai respons, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan sementara operasi Worldcoin dan World ID di Indonesia. Langkah ini menyoroti kekhawatiran mendalam terhadap praktik pengumpulan data biometrik oleh perusahaan asing.

Apa Itu Worldcoin dan World ID?

Worldcoin adalah proyek yang didirikan oleh Sam Altman, CEO OpenAI, dengan tujuan menciptakan sistem identitas digital global yang dapat membedakan manusia dari kecerdasan buatan (AI). Melalui perangkat bernama "Orb," pengguna memindai iris mata mereka untuk mendapatkan World ID dan imbalan berupa token kripto Worldcoin (WLD). Perusahaan mengklaim bahwa data biometrik ini dienkripsi dan tidak disimpan secara permanen, namun tetap menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan keamanan data. 

Mengapa Komdigi Membekukan Worldcoin di Indonesia?

Komdigi memiliki beberapa alasan kuat untuk membekukan sementara operasi Worldcoin:

  1. Perlindungan Data Pribadi: Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Indonesia mengkategorikan data biometrik sebagai data sensitif yang memerlukan persetujuan eksplisit dan pemahaman penuh dari individu yang bersangkutan.

  2. Kedaulatan Digital: Pengumpulan data oleh entitas asing tanpa pengawasan yang memadai dapat mengancam kedaulatan digital Indonesia.

  3. Eksploitasi Sosial: Iming-iming imbalan finansial kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk menyerahkan data biometrik mereka dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi.

  4. Kurangnya Transparansi: Ketidakjelasan tentang bagaimana data digunakan, disimpan, dan dilindungi menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan.

Respons Global terhadap Worldcoin

Worldcoin menghadapi tantangan serupa di berbagai negara:

  • Spanyol: Otoritas perlindungan data memerintahkan Worldcoin untuk menghapus semua data iris yang dikumpulkan karena pelanggaran terhadap peraturan privasi Uni Eropa. 

  • Kenya: Pemerintah menghentikan operasi Worldcoin dan meluncurkan penyelidikan atas praktik pengumpulan data mereka. 

  • Amerika Serikat: Meskipun belum ada larangan resmi, peluncuran Worldcoin di AS disertai dengan pengawasan ketat dari berbagai lembaga dan kritik dari para ahli privasi.

Pertimbangan Etis dan Sosial

Penggunaan teknologi biometrik untuk tujuan identifikasi digital menimbulkan pertanyaan etis:

  • Apakah individu benar-benar memahami implikasi dari menyerahkan data biometrik mereka?

  • Bagaimana data tersebut akan digunakan di masa depan?

  • Apakah ada mekanisme untuk menarik kembali data yang telah diberikan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin penting ketika teknologi seperti Worldcoin mulai menyasar populasi di negara-negara berkembang dengan iming-iming imbalan finansial.

Kesimpulan: Menimbang Manfaat dan Risiko

Sementara teknologi identifikasi digital seperti Worldcoin menawarkan solusi untuk tantangan di era digital, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menimbang manfaatnya terhadap risiko yang ditimbulkan. Perlindungan data pribadi, kedaulatan digital, dan etika pengumpulan data harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengadopsi teknologi semacam ini secara luas.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...