Skip to main content

Matinya Jurnalisme: Di Tangan Netizen Berkamera


Mari kita buka dengan sebuah ironi: jurnalisme tidak mati karena sensor. Ia tidak dibunuh oleh rezim otoriter atau tentara bersenjata. Ia justru mati di tangan netizen yang merasa cukup jadi wartawan hanya bermodal HP, kuota, dan ego.

Kita sedang hidup di era di mana semua orang merasa berhak bicara, tapi tak semua orang tahu apa yang mereka bicarakan. Lebih parah lagi, tak semua orang peduli kalau yang mereka sebarkan salah. Karena yang penting bukan benar atau salah—tapi viral atau tidak.

Dulu: Berita Dibuat, Diverifikasi, Dipertanggungjawabkan

Di era media lama—TV dan cetak—jurnalisme itu kerja kolektif. Ada reporter di lapangan, editor yang memotong dan menyaring, produser yang mengkurasi, kameramen yang memastikan visualnya layak. Sebuah berita bisa butuh berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk akhirnya tayang. Prosesnya berlapis dan panjang karena menyangkut tanggung jawab hukum dan etika.

Jurnalis sejati tak sekadar tukang lapor. Mereka belajar cara menulis yang jernih, mengecek fakta, menggali sisi yang tak tampak, dan menolak jadi corong propaganda. Mereka pegang Kode Etik, bukan Kode Algoritma.

Sekarang: Asal Cepat, Asal Heboh, Asal Ramai

Tapi semua berubah sejak media sosial masuk sebagai medan pertempuran utama. Kini siapa saja bisa mengklaim diri sebagai “jurnalis”. Asal bisa merekam video, ngomong lancar, dan ngerti hashtag. Tidak ada editor, tidak ada redaksi, tidak ada hukum. Yang ada cuma klik, unggah, sebarkan.

Verifikasi? Itu kerjaan netizen lain yang “niat”, atau kadang malah tak ada yang peduli. Yang penting duluan, bukan akurat. Kalau salah? Tinggal minta maaf, atau pura-pura hilang. Karena di internet, jejak digital bisa dikubur oleh postingan baru tiap detik.

Ini bukan jurnalisme. Ini karaoke informasi. Asal rame, asal nyaring, kita nyanyi bersama walau nadanya salah semua.

Dari Studio ke Smartphone: Demokrasi atau Anarki Informasi?

Dulu, untuk bisa siaran, Anda harus punya studio, lisensi, dan frekuensi. Sekarang? Cukup punya ponsel dan akun TikTok. Dulu, media dimiliki korporasi besar—iya, itu pun sering problematik. Tapi setidaknya mereka tunduk pada regulasi. Sekarang, medianya desentral. Siapa saja bisa siaran, siapa saja bisa viral.

Terdengar demokratis, bukan? Tapi apa benar begitu?

Faktanya, ini bukan demokrasi. Ini anarki. Di mana semua orang bisa bicara, tapi tidak ada mekanisme kontrol. Tidak ada filter. Tidak ada tanggung jawab. Dan algoritma justru mendorong yang paling bodoh, paling provokatif, paling mengguncang emosi untuk naik ke atas.

Kita tidak sedang menikmati kebebasan informasi. Kita sedang tenggelam dalam tsunami informasi sampah.

Dari Ad Economy ke Attention Economy: Uang Bicara, Akal Bisu

Media lama hidup dari iklan dan langganan. Iklan dipasang karena ada jaminan: jumlah pembaca, rating, kredibilitas. Sekarang, uang datang dari klik, view, dan waktu tonton. Semakin banyak yang berhenti scroll di postinganmu, semakin banyak uang mengalir.

Apa artinya? Emosi lebih laku daripada logika. Fitnah lebih menjual daripada fakta. Sensasi lebih menguntungkan daripada substansi.

Jurnalisme dikalahkan oleh clickbait. Oleh prank. Oleh “konten klarifikasi”. Oleh orang-orang yang pura-pura nangis di depan kamera sambil bilang “saya tidak pernah bermaksud begitu”.

Dulu, redaksi adalah kurator. Sekarang, algoritma dan netizen jadi wasit—dan mereka suka tontonan berdarah.

Netizen sebagai Algojo Tanpa Sertifikat

Maka lahirlah generasi “jurnalis dadakan”: citizen journalist, vlogger, TikToker, yang lebih paham edit video daripada edit informasi. Mereka bukan ingin menyampaikan kebenaran, tapi ingin didengar. Bukan ingin memberitahu, tapi ingin eksis. Bukan menegakkan keadilan, tapi ingin ramai.

Mereka bukan jurnalis, tapi aktor di panggung algoritma.

Dan inilah tragedi yang seharusnya membuat kita gelisah: jurnalisme dikubur hidup-hidup, bukan oleh tirani, tapi oleh selebrasi kebebasan yang tanpa tanggung jawab.


Saat Semua Jadi Wartawan, Siapa yang Jadi Pemirsa?

Ketika semua orang jadi “jurnalis”, siapa yang akan jadi pemirsa yang kritis? Ketika semua orang berebut bicara, siapa yang akan mendengar dan merenung?

Jurnalisme sejati bukan sekadar menyampaikan. Ia memilih, menyaring, menimbang, dan—yang paling penting—bertanggung jawab. Dan itu pekerjaan yang tak bisa digantikan oleh likes atau share.

Kita tidak butuh lebih banyak jurnalis dalam tanda kutip. Kita butuh jurnalis sungguhan. Yang tahu bahwa kebenaran tidak selalu viral, tapi tetap layak diperjuangkan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...