Skip to main content

Mengapa Pendidikan Vokasi Bisa Menjadi Bensin bagi Semangat Wirausaha Generasi Muda Indonesia

 

Kita sering mendengar bahwa Gen Z Indonesia — yang lahir di era internet dan media sosial — punya semangat tinggi untuk mandiri dan kreatif. Tapi ketika kita lihat kurikulum di banyak sekolah, masih terasa "seragam", padahal dunia kerja sudah sangat dinamis.

Pertanyaannya: apakah menyisipkan pendidikan vokasi sejak dini bisa menjadi kunci lahirnya wirausahawan masa depan?


1. “Skill Gap” Itu Nyata, Bukan Sekadar Istilah Keren

Menurut data BPS dan Kemendikbud:

  • Hanya sekitar 8,6% lulusan SMK yang benar-benar bekerja sesuai bidang keahlian vokasinya.

  • Dan hanya 2 dari 10 siswa SMA yang pernah mendapatkan pelatihan keterampilan praktis seperti editing video, desain grafis, atau tata boga.

  • Padahal, data dari World Bank menunjukkan bahwa 55% pekerjaan baru di ASEAN akan membutuhkan keterampilan teknis menengah.

Dengan kata lain, banyak siswa punya ide, tapi tidak punya alat untuk mewujudkannya.


2. Kurikulum Merdeka: Ada Peluang, Tinggal Kita Gerak

Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah membuka ruang:

“Proyek penguatan profil pelajar Pancasila” memungkinkan sekolah untuk menyisipkan pembelajaran berbasis proyek, termasuk bidang vokasi dan kewirausahaan.

Tinggal bagaimana sekolah dan komunitas mengambil peluang ini jadi sesuatu yang nyata.


3. Apa yang Siswa Butuhkan? (Dan Ide-Ide Sederhana yang Bisa Dimulai Besok)

📌 Yang hilang hari ini:

  • Kepercayaan diri memegang alat, bukan cuma ngeklik PowerPoint.

  • Proyek nyata yang bisa gagal dan diperbaiki.

  • Mentor dari dunia nyata, bukan hanya buku teks.

💡 Yang bisa kita coba:

  • Klub Vokasi Mingguan: 1 jam seminggu, siswa bisa coba berbagai keterampilan — dari membuat konten TikTok edukatif, servis motor, sampai membuat sabun organik.

  • Demo UMKM Lokal: Undang tukang sablon, perajin sepatu, barista, atau content creator ke sekolah. Praktik 30 menit lebih hidup dari 30 slide.

  • Pameran Mini Startup Siswa: 3 bulan sekali, siswa bisa pamerkan proyek mereka — dari sabun herbal, podcast sejarah lokal, hingga game edukatif buatan sendiri.


4. Teknologi Bukan Pengganti, Tapi Katalis

Kita tidak bicara soal ganti buku dengan tablet. Kita bicara gabungan:

  • Anak belajar desain grafis pakai Canva, lalu cetak stiker sendiri.

  • Bikin video pendek pakai HP, lalu belajar analitiknya lewat dashboard YouTube.

  • Desain rumah pakai SketchUp, lalu bangun maket dari kardus bekas.

Teknologi mempercepat, tapi sentuhan tangan tetap membentuk karakter.


5. Untuk Siapa Ini? Dan Langkah Selanjutnya

Guru, kepala sekolah, orang tua, komunitas lokal, pelaku UMKM — kalau kamu pernah terpikir:
"Kenapa sekolah nggak ngajarin hal-hal nyata?"

Mungkin ini saatnya kita bantu satu sama lain mulai dari yang kecil. Saya sedang mengumpulkan cerita, toolkit sederhana, dan mencari mitra yang mau menghidupkan kembali semangat “belajar sambil berkarya” di sekolah-sekolah kita.

Siapa tahu, “Klub Vokasi” di sekolah kamu bisa jadi tempat lahirnya entrepreneur muda berikutnya.


Sumber data: BPS (2023), Kemendikbudristek, World Bank (ASEAN Job Outlook), Kurikulum Merdeka 2022

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...