Di sebuah negeri yang terletak di antara garis khatulistiwa dan jurang defisit bayangan, perebutan kekuasaan tak lagi semata-mata tentang mandat rakyat. Ia telah menjadi drama epik yang tayang setiap lima tahun, dengan aktor-aktor utama yang saling bertukar kostum antara penyelamat dan pelindas, tergantung dari posisi kamera dan hasrat kekuasaan. Jika Game of Thrones menyajikan medan laga dengan naga dan pedang, negeri ini menyajikan versi tropikalnya: pebisnis sakti, jenderal gaek, dan politisi oportunis yang setia pada siapa pun yang menjanjikan kursi.
Mari kita mulai dari sosok pemimpin yang dulu dielu-elukan sebagai angin segar dari pinggiran. Ia bukan anak bangsawan politik, bukan pula trah konglomerat. Awalnya dipuja sebagai representasi rakyat biasa yang mendobrak dominasi elite. Tapi seperti Jon Snow yang perlahan menyadari bahwa mahkota datang dengan belenggu, sang pemimpin ini pun perlahan diselimuti oleh lingkaran kekuasaan yang lebih tua, lebih licin, dan lebih dalam dari yang ia duga. Ia tetap populer, tapi kekuasaan sejatinya? Itu cerita lain.
Lalu muncul sang arsitek dari balik layar. Veteran, diplomat, pebisnis, sekaligus eksekutor. Ia tak suka keramaian, tapi hampir setiap megaproyek kerajaan melibatkan namanya. Ia tidak duduk di tampuk tertinggi, tapi jarang ada keputusan besar yang melangkah tanpanya. Dialah raja tanpa mahkota, seperti Tywin Lannister, yang membiarkan para pion tampil di muka publik, sementara ia sendiri memainkan bidak-bidak besar dalam senyap.
Dan sekarang muncul generasi baru. Seorang pewaris muda yang tiba-tiba melonjak ke panggung kekuasaan seperti Daenerys Targaryen melompat dari perbudakan ke tahta. Bedanya, yang satu dibesarkan di gurun dan membawa naga, yang satu lagi dibesarkan di pelataran istana dan membawa aura privilege. Belum lama mengenal politik, tapi sudah duduk di singgasana cadangan tertinggi. Ia masih muda, katanya. Tapi muda bukan berarti netral, dan tidak berpengalaman bukan berarti tidak terlibat. Apalagi jika jalan menuju tahta penuh karpet merah, bukan ujian api.
Tentu semua permainan ini tak bisa berjalan tanpa bahan bakarnya: uang. Dan di sinilah naga-naga sejati menyembunyikan sayapnya. Mereka tidak berkampanye, tidak tampil dalam debat, dan tidak perlu memenangi pemilu. Tapi mereka hadir di balik kontrak tambang, di balik hak kelola pelabuhan, di dalam setiap revisi pasal yang terdengar teknokratik tapi sesungguhnya sarat kepentingan. Mereka adalah para penyandang dana abadi, seperti Iron Bank, yang tak peduli siapa yang berkuasa—selama tagihan dibayar dan akses dibuka.
Dalam peta kekuasaan ini, ada pula sosok matriark: tokoh senior yang sudah lama mundur dari sorotan tapi masih memegang kendali moral dan struktur politik di belakang layar. Ia seperti Lady Olenna, tidak keras, tapi tajam. Ia berbicara jarang-jarang, tapi sekali bicara, gema ucapannya bisa mengubah arah angin.
Dan jangan lupakan sang kesatria tua—dulu ditakuti, kini dielus. Pernah jadi musuh, kini jadi sekutu. Pernah menyerang, kini duduk nyaman dalam struktur kekuasaan yang sama. Ia membawa sejarah panjang dan reputasi kompleks, tapi tampil dengan narasi baru: demi bangsa, demi persatuan. Mungkin publik sudah lupa masa lalunya, atau pura-pura tidak ingat. Tapi dalam politik, amnesia adalah strategi bertahan. Apalagi bila pasukan bayangan mulai dimobilisasi—tak lagi memakai armor, tapi seragam ormas, reputasi preman binaan, dan stempel loyalitas yang disulap dari masa lalu penuh peluru.
Dan seperti biasa, ketika kerajaan sibuk menata suksesi, serangan musuh datang dari arah yang tak diduga. Kawasan maritim utara tiba-tiba dipagari, bukan oleh es atau pertahanan militer, tapi oleh struktur bambu yang katanya demi keselamatan rakyat laut. Kenyataannya, justru menenggelamkan hidup mereka. Dari sisi istana, berembus kabar bahwa sang raja terdahulu mungkin saja pernah bermain-main dengan dokumen pendidikan. Tapi pengadilan kerajaan memilih menutup buku sejarahnya, bukan membukanya. Dan badai pun diredam dengan keheningan.
Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan dikuasai oleh konsorsium berlapis, pulau-pulau kecil dijual dalam bungkus investasi, dan lumbung kerajaan mulai bergantung pada peminjaman dari utara dan timur jauh. Rakyat hanya mendengar angka—surplus, defisit, ekspansi fiskal—yang sejatinya berarti satu hal: makin banyak utang, makin banyak kompromi.
Di tengah semua ini, rakyat tetap setia pada peran klasik mereka: latar belakang. Mereka menjadi audiens tetap dari panggung besar kekuasaan, kadang dibutuhkan untuk meramaikan survei, kadang dipakai untuk melegitimasi kebijakan. Tapi sungguh jarang mereka diundang untuk benar-benar menentukan arah cerita. Seperti rakyat Westeros yang hanya bisa berharap musim dingin tak datang terlalu cepat, rakyat di negeri ini pun hanya bisa berharap musim gagal panen, musim inflasi, dan musim PHK tak datang serentak.
Yang paling mengerikan bukanlah pertikaian elite. Tapi diamnya mereka terhadap ancaman nyata. Ketika perubahan iklim mengikis tanah, ketika utang menggerogoti perbendaharaan istana, ketika hukum kehilangan arah—semuanya dibiarkan berjalan, sementara elite sibuk menjaga kursi dan mewariskannya.
Winter is not coming, katanya. Tapi oligarki sudah lama tinggal nyaman di singgasana. Dan kita? Masih di luar benteng, berharap tak membeku sebelum fajar.
Penulis: Pengamat politik anonim, dengan dosis frustrasi dan tawa secukupnya.
Comments
Post a Comment