Skip to main content

CV Kosong, Hidup Penuh: Sebuah Pleidoi untuk Mereka yang Pernah Menghilang

 

Di dunia kerja modern, ada satu dosa besar yang tak bisa ditebus dengan ijazah, pengalaman, apalagi sertifikat pelatihan daring dari platform berlogo ungu: menganggur terlalu lama.

Tak peduli seberapa cerdas kamu, seberapa dalam kamu merenung, atau seberapa banyak hidup yang kamu tata ulang selama masa “vakum” itu—selama ada jeda menganga di CV-mu, maka kamu tak lebih dari sekadar gap year creature yang dicurigai.

Mereka tak akan bilang terang-terangan. Dunia korporat terlalu sopan untuk itu. Tapi lihat saja caranya mereka mengerutkan dahi saat membuka lembar riwayat hidupmu. Mereka tak membaca dengan rasa ingin tahu, tapi dengan radar penciuman yang mengendus ketidaksesuaian seperti anjing pelacak.

“Dua tahun nggak kerja, ya? Ngapain aja selama itu?”
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya berbunyi:
"Apa kamu masih pantas kami bayar?”

Dunia yang Menyembah Garis Lurus

Dunia kerja seperti punya fetish terhadap grafik karier yang naik terus seperti tanjakan harga properti di kota metropolitan. Semakin lurus, semakin tinggi, semakin mulus—semakin dianggap valuable.

Padahal mari kita jujur sedikit saja. Tak ada hidup yang benar-benar lurus. Bahkan jalan tol pun kadang ada lubang. Tapi tetap saja, mereka ingin percaya bahwa karyawan ideal adalah makhluk bernafas yang tak pernah goyah, tak pernah patah, tak pernah rehat.

Dan lucunya, yang pindah kerja tiap enam bulan dibilang gak punya komitmen. Yang rehat dua tahun dibilang gak punya ambisi.
Dunia kerja ini sebenarnya mau cari karyawan, atau cari malaikat yang sempurna tanpa cacat cela?

Seseorang yang rehat dari pekerjaan karena kena PHK massal dianggap tidak beruntung. Yang berhenti karena ingin mengurus anak dianggap mundur dari peradaban. Yang cuti karena burnout dianggap tidak tahan tekanan.

Jadi sebaiknya bagaimana? Menyembunyikan fakta? Menulis "konsultan independen" padahal sedang mengasuh anak sambil menyetrika? Atau menulis "freelance" sebagai topeng elegan dari kegagalan sistemik yang membuatmu dikeluarkan dari perusahaan karena merger yang kamu sendiri tidak pernah minta?

Mereka yang Kembali Bukan dari Nol

Tapi inilah paradoksnya. Orang-orang yang pernah jeda, biasanya kembali bukan dari nol. Mereka kembali dari titik refleksi. Mereka tidak lagi melamar kerja untuk naik jabatan, tapi untuk naik makna.

Dan itu berbahaya.
Karena dunia kerja tidak suka orang yang terlalu paham arti bekerja.
Dunia kerja suka orang yang sibuk, bukan yang sadar.

Orang-orang ini sering dianggap minoritas tersesat di tengah industri yang ingin segalanya cepat, stabil, dan tanpa drama. Padahal justru mereka inilah yang membawa sesuatu yang langka: kesadaran. Tentang kerja, tentang makna, tentang pentingnya tidak hanya hidup untuk gaji.

Kenapa Harus Ragu Memberi Kesempatan?

Selama mereka bukan pembuat onar, bukan si tukang gosip abadi yang menyabotase ruang pantry, bukan toksik berjalan yang bikin resign massal, kenapa harus ragu memberi kesempatan?

Mereka yang pernah menganggur biasanya:
– Tidak menyia-nyiakan peluang
– Tidak mengeluh soal hal remeh
– Tidak haus validasi palsu
– Tidak memelihara superioritas semu
– Tidak gatal ingin terlihat “paling sibuk”

Karena mereka tahu rasanya jadi tak terlihat. Karena mereka pernah menjadi tidak dianggap. Karena mereka pernah tidak punya tempat untuk datang jam 9 pagi.

Dan itu, justru membuat mereka lebih bisa menghargai ruang yang kini ditawarkan.

Attitude Tak Bisa Dibeli

Pasar kerja terlalu sibuk mencari skill, tapi sering lupa mengevaluasi hal yang lebih penting: attitude.
Skill bisa dibentuk. Skill bisa di-bootcamp-kan. Skill bisa di-AI-kan.
Tapi attitude? Itu datang dari tempaan hidup. Dari pengalaman yang tidak semua orang punya nyali untuk jalani.

Dan orang yang pernah jatuh, lalu memilih bangkit—bukan karena terpaksa, tapi karena ingin—itu bukan manusia biasa.
Itu manusia versi 2.0.
Lebih lembut, lebih sabar, lebih kuat. Tapi tidak membual.

Mereka tidak banyak ngomong di meeting. Tapi kalau mereka bicara, biasanya penting.
Mereka tidak mengejar spotlight. Tapi dalam krisis, mereka bisa jadi satu-satunya orang yang tetap tenang.

Mereka Bukan Masalah. Mereka Solusi

Kita butuh lebih banyak karyawan yang pernah kosong. Yang tahu betapa berharganya pekerjaan, bukan karena gaji besar, tapi karena maknanya.

Kita butuh lebih banyak orang yang mengisi ruang kerja, bukan dengan ego, tapi dengan rasa syukur.

Kita terlalu banyak merekrut orang yang haus naik pangkat, tapi lupa rekrut mereka yang haus memberi kontribusi nyata.

Terlalu banyak yang jago multitasking, tapi tak pernah belajar mendengar.
Terlalu banyak yang agresif, tapi miskin empati.
Terlalu banyak yang tampil confident, padahal rapuh begitu presentasi ditolak.

Sementara mereka yang pernah diam dalam jeda, justru punya kekuatan yang tidak kelihatan:
Mereka tahu bahwa semua ini bisa hilang kapan saja.
Dan justru karena itu, mereka tidak akan main-main.


Rekrut mereka.
Ajari kalau perlu. Tapi jangan perlakukan mereka seperti lembar kosong.
Mereka bukan CV kosong. Mereka adalah hidup yang baru saja ditata ulang.

Dan kalau kalian cukup bijak untuk memberi kesempatan, kalian mungkin akan mendapat bukan sekadar karyawan,
tapi manusia yang lebih tahu cara menjadi manusia.

Karena yang pernah kehilangan,
biasanya paling tahu cara menghargai apa yang masih ada.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...