Ketika driver ojek online memadati jalanan, bukan hanya penumpang yang mereka angkut. Mereka juga membawa beban berat dari sistem ekonomi yang pincang. Pekerjaan yang mestinya bersifat informal dan fleksibel, kini diperlakukan seolah-olah formal, namun tanpa perlindungan apapun dari negara maupun aplikator.
Masalah ini bukan sekadar soal tarif potongan yang mencekik atau insentif yang semakin tak masuk akal. Akar permasalahan lebih dalam: kurangnya pekerjaan formal yang layak di Indonesia. Karena kekosongan inilah, jutaan orang akhirnya terjerembab ke gig economy sebagai jalan keluar instan. Sayangnya, jalan keluar ini tak pernah dimaksudkan untuk jadi fondasi kehidupan.
Pekerjaan Formal yang Makin Menghilang
Di negara dengan struktur ekonomi kuat, sektor formal seperti manufaktur dan jasa produktif menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mereka menawarkan kontrak kerja, jaminan sosial, hak cuti, dan perlindungan hukum. Namun di Indonesia, sektor ini tak kunjung tumbuh kokoh. Pemerintah kita seolah menutup mata pada pentingnya industri padat karya yang bisa menyerap jutaan pekerja lulusan SMK dan SMA.
Alih-alih membangun pondasi kuat lewat industrialisasi, kita malah melompat langsung ke "ekonomi digital". Dan di sanalah para aplikator menunggu, menawarkan pekerjaan tanpa kontrak, tanpa kepastian, dan tanpa belas kasih.
Gig Economy: Jalan Pintas yang Menyesatkan
Gig economy pada dasarnya bersifat sementara dan fleksibel. Cocok untuk pelajar, ibu rumah tangga, atau pekerja sampingan. Tapi di Indonesia, gig economy justru dijadikan penyelamat angka pengangguran. Ojol, kurir, content creator, semua masuk dalam kategori ini.
Sayangnya, platform digital seperti aplikator ojek online memperlakukan mitranya layaknya karyawan: ada sistem poin, hukuman, target, bahkan pemutusan hubungan kerja sepihak. Tapi ketika bicara soal hak, para driver ini dianggap "bukan pekerja", hanya sekadar "mitra usaha". Ketimpangan inilah yang menciptakan konflik terus menerus antara driver dan perusahaan.
Negara Absen, Driver Jadi Korban
Ketika driver ojol memprotes potongan hingga 20% atau 30% dari pendapatan mereka, itu bukan sekadar soal uang. Itu adalah teriakan atas ketimpangan yang makin dalam. Aplikator tidak transparan. Negara tidak hadir. Sementara harga bensin, cicilan motor, dan biaya hidup terus naik.
Negara mestinya tak tinggal diam. Negara seharusnya:
Mengatur hubungan kerja antara platform dan pekerja digital.
Membangun industri padat karya yang bisa menyerap jutaan tenaga kerja.
Memberikan jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi para driver.
Ojol Bukan Solusi, Tapi Simptom Krisis
Kita harus berhenti menganggap booming-nya ojol sebagai tanda sukses ekonomi digital. Justru sebaliknya: ini adalah indikator darurat bahwa ekonomi formal kita kolaps. Ojol menjadi tempat pelarian, bukan tujuan. Dan selama pemerintah tidak membenahi struktur ekonomi dari hulunya, kita hanya akan terus menyaksikan konflik demi konflik antara pekerja dan mesin yang menggilas mereka.
Ojol bukan musuh. Aplikator bukan dewa. Negara harus kembali ke panggung, bukan sebagai penonton, tapi sebagai aktor utama yang menjamin setiap rakyatnya bisa bekerja dengan layak, hidup dengan bermartabat, dan pulang ke rumah tanpa dihantui algoritma yang kejam.
Comments
Post a Comment