Skip to main content

Gengsi Lebih Mahal dari Harga Diri: Ketika Orang Kaya Bohongan Berlomba Beli Tas Ular

 

Pendahuluan: Ilusi Kemewahan yang Menipu

Di era di mana validasi sosial lebih dicari daripada kebenaran, tidak heran bila simbol status menjadi mata uang utama. Kita hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi merek, bukan makna; logo, bukan logika. Dan di sinilah dimulai kisah yang absurd namun nyata—tentang tas tangan, ular piton, dan orang-orang yang rela membayar harga setengah miliar rupiah hanya demi gengsi.

Kulit Piton dan Kapitalisme Fashion

Di Sumatera, ular piton menjadi komoditas. Bukan karena nilai ekologisnya, tapi karena kulitnya bisa diubah menjadi tas eksklusif oleh merek-merek fashion ternama seperti Hermès dan Prada. Seekor piton dihargai Rp300.000 oleh para pencari, dijual Rp1.000.000 ke pengepul, dan kemudian—setelah perjalanan panjang dan branding mewah—berubah menjadi tas seharga Rp500.000.000. Total bahan dan biaya produksi tak lebih dari Rp5 juta. Sisanya? Murni strategi pemasaran.

Hermès, misalnya, hanya memproduksi 15 tas kulit piton untuk koleksi musim semi. Tapi satu tas pertama tidak dijual. Ia diberikan secara cuma-cuma kepada selebriti seperti Victoria Beckham sebagai "umpan visual." Syaratnya: lima foto yang tampak natural, namun disusun rapi oleh fotografer Hermès. Dari keluar butik, anter anak sekolah, sampai ngopi santai—semuanya dipotret demi membangun imajinasi bahwa tas itu bagian dari kehidupan sehari-hari sang selebriti.

Veblen Goods: Ketika Harga Menciptakan Ilusi Nilai

Konsep ini disebut sebagai Veblen Goods—barang yang permintaannya justru meningkat ketika harganya dinaikkan, karena nilai sosial dianggap lebih penting daripada nilai utilitas. Orang tidak membeli tas karena butuh wadah, tetapi karena ingin terlihat lebih tinggi dari orang lain. Dalam struktur sosial semu ini, harga mahal menciptakan eksklusivitas. Eksklusivitas menciptakan ilusi prestise. Dan prestise menciptakan pasar.

Lalu siapa yang membeli? Dari 15 pembeli tas piton Hermès, tiga berasal dari Indonesia—satu sosialita dan dua istri pejabat. Sembilan lainnya dari China, dua dari Singapura, satu dari Timur Tengah. Tidak ada satu pun dari Eropa atau Amerika. Kenapa? Karena masyarakat di sana makin sadar bahwa kemewahan bukan soal harga, tapi logika. Mereka tahu bahwa memperkaya korporasi dengan membeli produk overprice bukanlah lambang kecerdasan, tapi bentuk lain dari kebodohan yang dikemas rapi.

Mental Inlander dan Inferiority Complex Kolektif

Ini bukan soal tas. Ini soal mental. Mental inlander yang belum sembuh sejak zaman kolonial. Kita merasa lebih tinggi bila bisa meniru gaya hidup orang kulit putih. Kita merasa lebih terhormat jika bisa berkata, "tas ini sama kayak punyanya Victoria Beckham." Padahal Victoria dapat gratisan. Kita beli pakai cicilan.

Gaya hidup semu ini bukan hanya tolol, tapi juga merusak. Alam kita dikorbankan untuk kulit eksotis, hanya agar sekelompok elite bisa memamerkan kekosongan yang dibungkus kemewahan. Ular-ular kita dibunuh, hutan kita digunduli, lalu produknya kembali ke negeri ini dengan harga berlipat ganda. Kita bukan hanya konsumen, kita korban dari sistem kapitalisme eksploitatif.

Penjajahan Gaya Baru: Branding sebagai Kolonialisme Modern

Kita harus berani menyebut ini sebagai bentuk kolonialisme baru. Dulu penjajah mengambil rempah, sekarang mereka mengambil kulit, kayu, dan logam mulia—lalu dijual kembali ke kita dalam bentuk jam tangan, tas, atau parfum. Branding menjadi alat penaklukan. Citra menjadi senjata dominasi. Kita dipaksa merasa rendah kalau tidak punya barang-barang berlogo.

Sialnya, barang-barang ini juga menjadi alat pencucian uang. Tak sedikit istri pejabat membeli tas miliaran rupiah dengan uang tunai, tanpa pernah bisa menjelaskan asal-usul dananya. Mereka bersembunyi di balik kalimat klise: "Saya suka seni dan desainnya." Padahal yang mereka beli bukan desain, melainkan cara untuk menutupi aroma busuk dari sumber penghasilan.

Penutup: Kaya Tapi Tidak Bodoh

Di tengah arus gila ini, kita butuh kesadaran baru. Bahwa kekayaan sejati bukanlah soal apa yang kita miliki, tapi bagaimana cara kita memilikinya. Bukan soal tas yang sama dengan Victoria Beckham, tapi tentang tidak merasa perlu dibandingkan dengan siapapun. Karena orang kaya yang benar-benar kaya, tidak akan merasa perlu membuktikan apapun lewat tas, jam, atau mobil.

Buat kamu yang membaca tulisan ini sampai akhir: semoga kamu jadi kaya. Tapi bukan kaya yang bodoh. Bukan kaya yang membeli gengsi demi validasi. Tapi kaya yang tahu kapan harus membeli, kapan harus menertawakan dunia.

Uraaaaaaaaa.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...