Bayangkan sebentar. Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, sang Emansipator yang mengakhiri perbudakan, kini duduk di sebuah diner retro, mengenakan setelan khas abad ke-19 tapi memegang segelas soda ukuran super dan menyantap burger dengan bendera kecil Amerika tertancap di atasnya. Terlihat santai, tapi tatapannya tegas. Kaku, seperti menyimpan segudang tanya. Seolah-olah ia baru saja bangkit dari kubur dan bertanya: "Negara ini jadi begini sekarang?"
Lincoln hidup kembali di era Donald Trump. Sebuah eksperimen sosial yang bahkan para penulis fiksi distopia pun mungkin ragu menuangkannya ke halaman pertama.
Mari kita tidak terlalu sopan di sini. Jika Lincoln memang benar-benar bangkit hari ini, ia akan mengalami semacam shock budaya tingkat dewa. Negara yang dulu ia perjuangkan dengan darah, pidato, dan perang saudara—kini terlihat seperti sirkus politik penuh badut, influencer, dan korporasi yang mengatur lebih banyak daripada parlemen.
1. Dari Gettysburg ke Twitterstorm
Lincoln berdiri di atas tanah Gettysburg dan mengucapkan 272 kata abadi:
“Government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the Earth.”
Bandingkan dengan ini, dari Trump:
“I have the best words. I’m very highly educated. I know words. I have the best words.” (Trump, rally speech 2015)
Lincoln menggunakan kata-kata untuk menyatukan. Trump menggunakannya untuk membakar. Lincoln membela prinsip. Trump membela ego. Yang satu melahirkan demokrasi yang berdaya tahan, yang lain menciptakan brand loyalty layaknya CEO yang gagal membedakan rakyat dari konsumen.
Lincoln percaya pada masa depan yang inklusif. Trump percaya pada masa lalu yang semu, dengan slogan seperti: “Make America Great Again.” Lincoln tahu bahwa greatness bukan sesuatu yang bisa diklaim di topi. Itu harus diperjuangkan dengan integritas.
2. Martabat Lama vs Hiburan Politik
Lincoln bukan selebriti. Ia bahkan sering dianggap membosankan oleh lawan-lawan politiknya. Tapi justru karena ia tidak haus panggung, ia dipercaya memikul nasib republik yang terbelah. Ia tidak punya kamera setiap langkahnya, hanya pena, hati nurani, dan surat kabar lokal.
Trump, di sisi lain, menjadikan kamera sebagai senjata utama. Saat Lincoln mencoba menyatukan bangsa dengan debat, Trump memecahnya dengan reality show.
Bayangkan Lincoln menghadiri rally Trump yang penuh dengan nyanyian "Lock her up!", ejekan rasial, dan merchandise merah merona. Ia mungkin akan diam, bukan karena takut, tapi karena terlalu kecewa untuk menginterupsi kebisingan yang mengaku sebagai patriotisme.
3. Bangkit di Tengah Ketidaktahuan Massal
Lincoln pernah berkata:
“The philosophy of the school room in one generation will be the philosophy of government in the next.”
Ia percaya pendidikan adalah akar dari republik yang sehat.
Kini, seandainya ia hidup kembali, ia akan menyaksikan gelombang besar warga negara yang mempercayai teori konspirasi lebih dari sains. Ia akan lihat warga memercayai bahwa vaksin adalah alat kontrol massal, bahwa bumi datar, dan bahwa pemilu bisa dicurangi hanya karena ada narasi di Facebook.
Trump tak segan menyulutnya. Ia pernah berkata:
“Don’t believe the crap you hear from these people—the fake news.” (Trump, Veterans of Foreign Wars Convention, 2018)
Jika Lincoln hidup, ia tidak hanya akan khawatir pada isi kepala pemimpin, tapi juga isi kepala rakyat yang selama ini ia percayai sebagai penjaga republik.
4. Keadaban yang Terkubur
Lincoln tak memimpin dengan ancaman. Ia memimpin dengan rasa tanggung jawab moral. Ia tahu kapan harus kalah dan kapan harus berkompromi. Tapi sekarang? Kekalahan dianggap konspirasi. Peradaban dianggap kelemahan.
Trump, saat kalah dalam pemilu 2020, menolak hasilnya dan berkata:
“Frankly, we did win this election.”
Sementara fakta dan hukum berkata lain.
Lincoln bahkan bersedia menandatangani Proklamasi Emansipasi meski tahu itu bisa membuatnya kehilangan dukungan dari sebagian utara. Sementara Trump bahkan tak rela kehilangan pengikut Twitter.
5. Ketika Demokrasi Dijual dengan Saus Barbeque
Mari kembali ke gambar itu. Lincoln duduk sendiri, di tengah Amerika modern, mencoba memahami mengapa demokrasi kini terasa seperti restoran waralaba. Semuanya dikemas, dipoles, dijual. Termasuk patriotisme.
Burger itu tampak lezat, tapi Lincoln tahu: ini bukan soal rasa. Ini tentang apa yang dikorbankan untuk mencapainya. Ia melihat demokrasi dikunyah tanpa dikritisi, seperti junk food: cepat, praktis, tapi pelan-pelan mematikan kesadaran.
Dan bendera kecil Amerika di atasnya? Hanya hiasan. Karena nasionalisme hari ini lebih banyak dibeli ketimbang dipahami.
Epilog yang Tak Heroik
Lincoln tidak akan cocok di era ini. Ia terlalu reflektif. Terlalu jujur. Terlalu percaya pada akal sehat. Tapi justru karena itu, imajinasi tentang Lincoln yang bangkit kembali adalah bentuk kritik paling pedas atas betapa jauhnya kita melenceng.
Bukan karena Trump adalah iblis dan Lincoln malaikat. Tapi karena yang satu lahir dari krisis moral dan mencoba mengobatinya, sementara yang satu justru memanen krisis itu untuk keuntungan pribadi.
Lincoln tidak akan marah. Ia akan prihatin. Karena negeri yang dulu hampir hancur karena perbudakan kini hampir hancur karena kebodohan yang dirayakan dan kebencian yang dilindungi konstitusi.
Dan dalam dunia yang makin sulit membedakan antara panggung politik dan reality show, mungkin Lincoln akan berdiri dari kursi dinernya, menatap ke luar jendela, dan berkata pelan:
“America will never be destroyed from the outside. If we falter and lose our freedoms, it will be because we destroyed ourselves.”
Lalu ia pun membayar tagihannya. Dengan mata penuh kecewa. Dan diam-diam berharap, kali ini, kita sadar sebelum terlalu terlambat.
Comments
Post a Comment