Ada masa ketika hari Minggu pagi adalah puncak dari seluruh minggu. Saat suara khas pembuka Dragon Ball mengalun dari televisi tabung, saat sinyal UHF kita perjuangkan dengan antena gantungan baju, dan kita duduk bersila di lantai sambil makan roti tawar dan susu kental manis. Kita tidak punya Netflix, tidak punya streaming HD, tapi kita punya Goku — dan itu sudah cukup.
Ada masa ketika Naruto bukan sekadar ninja, tapi perwakilan dari harapan kita sendiri. Harapan bahwa meski diremehkan, ditertawakan, dijauhi, kita bisa jadi sesuatu. Kita bisa berguna. Kita bisa diakui. Kita tumbuh bersamanya. Kita tahu rasanya sepi. Kita tahu rasanya tidak dianggap. Dan ketika akhirnya dia menikah dan jadi Hokage... entah kenapa, kita merasa seperti seorang sahabat yang diam-diam menangis di pesta pernikahan.
Kita juga punya Luffy — si bodoh keras kepala yang punya impian mustahil: menemukan harta karun legendaris yang bahkan bentuknya tidak ada yang tahu. Tapi kita ikuti dia, bab demi bab, episode demi episode, karena entah kenapa semangatnya menular. Karena Luffy membuat kita percaya bahwa selama kita punya teman, semua hal gila bisa dicapai.
Tapi sekarang?
Toriyama-sensei telah tiada. Valentino Rossi menggantung helmnya dan menyisakan lubang besar di hati para penggemar balap. Ronaldo dan Messi, dua dewa sepakbola kita, kini mulai berjalan lambat — bukan karena lelah, tapi karena waktu tidak pernah kalah. Naruto kini sibuk sebagai bapak-bapak. Luffy tinggal beberapa langkah lagi menuju akhir perjalanannya. Dan kita?
Kita duduk sendiri di kamar yang sunyi, menatap layar penuh notifikasi pekerjaan, cicilan, dan utang moral terhadap masa lalu kita sendiri. Kita bukan lagi anak-anak yang bisa lari ke lapangan sehabis nonton Captain Tsubasa. Kita adalah orang dewasa yang bahkan waktu untuk menonton episode baru pun harus dicuri dari sisa energi setelah lembur.
Dan saat kita melihat meme ini — Goku duduk tertunduk, wajahnya ditutupi tangan, Luffy dan Naruto menepuk pundaknya — ada rasa sesak yang muncul tanpa aba-aba. Kita tahu itu bukan hanya gambar. Itu adalah representasi dari kita yang sedang mencoba menerima kenyataan bahwa masa kecil kita sudah pamit... tanpa pamit.
Tidak ada lagi hype menunggu majalah Shonen Jump di kios. Tidak ada lagi diskusi panas di warnet soal siapa yang lebih kuat: Goku atau Naruto. Tidak ada lagi countdown final episode Bleach atau Death Note. Semua sudah berganti: kini kita countdown gajian. Countdown deadline. Countdown cicilan terakhir KPR.
Masa kita sudah selesai. Tapi bukan berarti tidak pernah ada.
Justru karena ada, karena pernah begitu kuat membentuk kita, kehilangan ini terasa nyata. Karena kita tidak hanya kehilangan cerita, kita kehilangan versi diri kita yang masih percaya bahwa segala sesuatu mungkin.
Dan mungkin, yang paling menyakitkan adalah: kita tidak sadar kapan tepatnya semuanya berubah. Tidak ada alarm. Tidak ada peringatan. Hanya suatu hari, kita bangun, dan semuanya... sudah lewat.
Tapi mungkin — hanya mungkin — ini bukan tentang akhir. Mungkin ini tentang mewariskan semangat itu. Mungkin sekarang giliran kita jadi Goku untuk anak-anak kita. Jadi Naruto yang mengajarkan pantang menyerah. Jadi Luffy yang tak pernah kehilangan tawa meski dikepung badai.
Karena meskipun masa kita sudah selesai, nilai-nilai yang kita pelajari darinya... tidak pernah benar-benar mati.
Selamat tinggal, masa kecil. Terima kasih sudah menemani. Kini giliran kami yang menjaga api itu tetap menyala — bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk berjalan dengan lebih berani ke depan.
Comments
Post a Comment