Skip to main content

Perang, Sandiwara, dan Pengumpanan Amerika: Benang Merah dari Perang Dunia sampai Iran

 


Kalau memang sejarah manusia dianggap sebuah sandiwara besar, maka tak dapat dimungkiri peran bangsa Yahudi — atau lebih luas, Zionisme — selalu punya tempat penting di balik layar.
Ini bukan teori konspirasi murah, tapi sebuah pola yang dapat dilacak, dicocok-cocokkan, dan pada titik tertentu, memang tampak.
Kalau memang memang kau teliti, sejarah Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Irak, dan sekarang pertempuran Iran-Israel, semuanya punya benang merah.
Benang yang tengah ditenun demi kepentingan segelintir, demi sebuah visi geopolitik yang tak kasat mata.


Perang Dunia I: Langkah Awal Zionisme Menggenggam Kendali

Kalau memang kau perhatikan, Perang Dunia I bukan terjadi secara tiba-tiba.
Ini bukan soal Pangeran Franz Ferdinand dibunuh, kemudian bergulir menjadi konflik luas.
Ini soal kepentingan yang tengah bergelut di bawah permukaan.
Zionisme, yang tengah mencari tanah air, menggunakan momentum Perang Dunia I untuk melobi Kerajaan Inggris.
Deklarasi Balfour 1917 — sebuah pernyataan dukungan dari Menteri Luar Negeri Arthur Balfour kepada Lord Rothschild — menjadi titik penting.

Ini bukan sebuah pernyataan biasa, tapi sebuah langkah strategis:
➥ Menghubungkan dukungan keuangan dan lobi Zionis pada pemerintah Kerajaan Inggris.
➥ Menggunakan momentum Perang Dunia I demi meletakkan fondasi sebuah entitas Yahudi di Palestina.
Singkatnya, Perang Dunia I bukan terjadi demi kepentingan bangsa-bangsa yang tengah bergelut, tapi demi visi jangka panjang Zionisme.


Perang Dunia II: Trauma, Simpati, dan Berdirinya Israel

Kalau memang Perang Dunia I meletakkan fondasi, Perang Dunia II menyuburkannya.
Holocaust — pembantaian massal bangsa Yahudi — menjadi sebuah peristiwa tragis yang nantinya dimanfaat­kan demi sebuah legitimasi moral.
Kalau memang bangsa Yahudi dibantai, memang wajar jika kemudian dunia memberikan tanah dan sebuah bangsa pada mereka.

Dan terjadi pada 1948, Israel resmi lahir.
Ini bukan terjadi secara kebetulan, tapi sebuah perwujudan visi yang memang tengah dibangun.
Perang, penderitaan, dan trauma menjadi instrumen penting demi tercapainya sebuah kepentingan.
Kalau memang kau perkirakan, tanpa Perang Dunia II dan Holocaust, deklarasi Israel mungkin masih menjadi sebuah mimpi.


Perang Irak 2003: Pengumpanan Amerika demi Keamanan Israel

Kalau memang kemudian terjadi Perang Irak 2003, dalihnya adalah Senjata Penghancur Massal (Weapons of Mass Destruction).
Dunia diberitahu bahwa Irak tengah menyimpan senjata yang dapat digunakan untuk memangsa bangsa lain.
Kalau memang kau cermati, kemudian terungkap bahwa senjata itu tak pernah ada.
Ini sebuah manipulasi, sebuah sandiwara, demi mencapai kepentingan yang lebih luas.

Kalau memang kemudian kau telusuri, kelompok lobi pro-Israel — AIPAC, kalangan Neo-Konservatif, dan think-tank — turut mendorong Amerika menyerang Irak.
Bagi Israel, Irak adalah ancaman.
Kalau memang Amerika dapat melumpuhkannya, posisi Israel di kawasan menjadi lebih aman.
Singkatnya:
➥ Amerika diberdayakan demi kepentingan Israel.
➥ Perang terjadi bukan demi Amerika, tapi demi visi Zionis.


Perang Iran 2025: Pengulangan Pola, Sandiwara, dan Pengumpanan Amerika

Kalau memang sekarang terjadi eskalasi Iran-Israel, dan terjadi perdebatan: “Ini perang sungguhan atau perangan?”
Kalau memang kau perhatikan, Iran dan Israel tengah bermain peran.
Negeri Syiah dan bangsa Yahudi, yang katanya bermusuhan, pada saat-saat penting justru berguna satu sama lain.
Ini terjadi demi kepentingan masing-masing.

➥ Iran dapat menggunakan ancaman Israel demi menyatukan rakyatnya dan menumpas perbedaan internal.
➥ Israel dapat menggunakan Iran demi melegitimasi tindakannya di Gaza dan kawasan.
➥ Dan yang paling penting, Amerika nantinya dapat diberdayakan, diseret, dan diperas demi kepentingan Zionis.

Ini terjadi bukan tanpa preseden.
Kalau memang Irak dan Afghanistan menjadi ajang uji, Iran nantinya mungkin menjadi puncak sandiwara.
Kalau memang nantinya Amerika turun, dan terjadi pertempuan luas, yang paling diuntungkan nantinya bukan bangsa Amerika, tapi kepentingan segelintir elit.


Benang Merah: Perang dan Sandiwara demi Kontrol

Kalau memang kemudian kau menyatukan puzzle dari Perang Dunia I, II, Irak, dan Iran, kau akan menemukan sebuah pola.
➥ Perang terjadi bukan demi keadilan, tapi demi kepentingan.
➥ Perbedaan ideologis, agama, dan bangsa dijadikan instrumen, bukan akar masalah.
➥ Dalam prosesnya, bangsa besar — Amerika — dimanipulasi, diberdayakan, dan dimiskinkan demi visi kelompok yang tengah bermain di balik layar.

Kalau memang kemudian terjadi perbedaan pendapat — bahwa Iran dan Israel tengah sandiwara — perbedaan itu justru berguna.
Ini menjadi perdebatan yang bergelut di permukaan, sementara kepentingan yang sebenarnya tengah berjalan tanpa hambatan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...