Skip to main content

SMK PGRI Lubuklinggau, Alfamart, dan Kejatuhan Ukuran Manusia

 


Sebuah Satir Filosofis Tentang Peradaban yang Menyusut ke Dalam Kepala Sendiri

Ada sebuah negara bernama Indonesia.
Negara ini kaya akan tambang, laut, dan—sayangnya—ukuran palsu.

Di negara ini, manusia tidak dinilai dari kebermanfaatannya.
Tidak dari kejujuran kerjanya.
Bukan pula dari kemampuannya berdiri di atas kaki sendiri.
Tapi dari tiga ukuran purba: gelar, gaji, dan gengsi.

Ukuran yang diwariskan bukan oleh Plato, melainkan oleh prasangka tetangga.
Ukuran yang tak ditimbang oleh nilai, melainkan oleh posisi di LinkedIn dan judul belakang nama.
Ukuran yang tidak menilai isi kepala, tetapi hanya isi bio Instagram.

Dan seperti itulah, sebuah unggahan sederhana dari SMK PGRI Lubuklinggau menjadi bulan-bulanan netizen:
Seorang alumni bekerja di Alfamart.
Ya. Alfamart. Tempat di mana ibu-ibu membeli sabun dan pulsa.
Bagi mereka, ini bukan prestasi. Ini prestasi yang “turun mesin”. Ini ironi. Ini “tragedi”.

Tapi tunggu dulu.

Ukuran Kerdil dari Kepala yang Membesar

Mari kita bedah dengan pisau satir.

Kalau ukuran manusia adalah pekerjaan kantoran ber-AC dan gaji dua digit, maka kita sedang menonton komedi.
Komedi sosial tentang orang-orang yang merasa tinggi hanya karena berdiri di atas reruntuhan martabat orang lain.
Yang mengejek kasir Alfamart, padahal hidupnya masih disubsidi orang tua.
Yang menyinyir kerja jujur, padahal ia sendiri menulis skripsi dengan jasa titipan.
Yang tertawa atas kerja kasir, tapi tak tahu bahwa dunia berjalan karena kasir tetap datang kerja walau gajinya tak sebesar KPI influencer.

Ukuran semacam ini adalah ukuran purba:
Ukuran zaman di mana kasta ditentukan bukan oleh kerja, tapi oleh seberapa dekat hubungan dengan penguasa atau penguasa rasa malu.

Alfamart dan Filsafat Kerja: Di Antara Gaji dan Harga Diri

Apa yang salah dengan menjadi kasir?

Bekerja adalah aktivitas paling filosofis dalam hidup manusia setelah berpikir.
Bekerja artinya keluar dari gua imajinasi dan masuk ke dunia nyata.
Bekerja artinya bertanggung jawab atas perut sendiri, bukan menunggu orang lain mengisi.

Kasir Alfamart adalah orang yang berdiri setiap hari, menghitung, menyapa, tersenyum, bahkan ketika pelanggannya tak layak untuk ditatap.
Mereka bekerja dalam kesenyapan, dalam suhu 24 derajat dan tekanan sosial 1000 atmosfir.
Tapi mereka tidak menyinyir. Mereka tidak mencari perhatian.
Mereka tidak membuat konten tentang betapa melelahkannya hidup, lalu menunggu validasi.

Mereka hanya bekerja.

Dan itu, saudara-saudara, adalah ukuran manusia yang nyata.

SMK, Kasir, dan Gerakan Perlawanan Ukuran Palsu

SMK PGRI Lubuklinggau memposting kebanggaan.
Dan itu mengganggu. Bukan karena salah, tapi karena jujur.

Kita hidup di masyarakat yang membenci kejujuran—karena kejujuran mengingatkan kita pada kegagalan untuk jujur pada diri sendiri.
Mereka marah bukan karena kasir itu gagal, tapi karena kasir itu berhasil tanpa izin mereka.

Dan di balik setiap nyinyiran netizen, ada rasa takut.
Takut bahwa dunia tidak berjalan seperti yang mereka bayangkan.
Bahwa kerja keras bukan hanya tentang gelar.
Bahwa kontribusi bukan hanya milik mereka yang duduk di belakang meja.

Mereka ingin menyimpan ukuran palsu itu selamanya.
Mereka ingin dunia tetap menilai manusia dari caption dan CV, bukan dari kerja nyata dan keteguhan hati.

Ukuran Manusia yang Baru: Dari Karier ke Kontribusi

Apa yang akan terjadi kalau kita menggeser ukuran?

Dari status sosial menjadi kebermanfaatan.
Dari gelar akademik ke keringat harian.
Dari ijazah ke integritas.

Maka dunia akan terlihat berbeda.

Seorang kasir akan dihargai sebagaimana seorang menteri—karena keduanya berkontribusi dalam rantai peradaban.
SMK tidak akan lagi dianggap jalan buntu, tapi jalur cepat menuju kemandirian.
Alfamart tidak akan jadi bahan tertawaan, tapi simbol perlawanan terhadap ukuran palsu yang menghuni kepala kita.

Dan kita akan tahu:
Tidak ada kerja yang hina, yang hina hanyalah ukuran kita terhadap kerja.

Netizen, Cermin, dan Krisis Eksistensial Kolektif

Mengapa orang menyinyir?

Karena mereka sedang bercermin—dan tidak suka dengan yang mereka lihat.
Mereka ingin merasa lebih tinggi, jadi mereka harus mengecilkan orang lain.
Kritik terhadap kasir Alfamart bukan tentang pekerjaan itu, tapi tentang ketidakmampuan diri sendiri untuk bekerja jujur.
Yang menyinyir adalah mereka yang takut kalau hidup yang sederhana dan jujur ternyata lebih terhormat dari pencitraan dan kemunafikan.

Satir terbesar adalah ini:
Mereka yang paling keras tertawa, biasanya adalah yang paling kosong di dalam.
Dan mereka yang dianggap kecil, biasanya adalah yang paling besar kontribusinya.

Tamparan Terakhir Untuk Ukuran yang Telah Busuk

Kalau SMK PGRI Lubuklinggau dan Alfamart dianggap rendah,
maka peradaban kita sedang memelihara virus: virus ukuran palsu.

Tulisan ini adalah tamparan.
Bukan untuk Alfamart.
Bukan untuk SMK.
Tapi untuk kepala-kepala yang membesar tanpa isi.

Kalau ukuran manusia bergeser,
kita akan merayakan semua kerja—kecil atau besar.
Kita akan berhenti menyembah gelar dan mulai menghargai kontribusi.
Kita akan berhenti tertawa atas kerja orang lain dan mulai menangisi ukuran kita sendiri.

Dan ketika itu terjadi,
mungkin kita tak lagi jadi bangsa dengan ukuran kerdil,
tapi jadi bangsa yang akhirnya tahu:
bahwa manusia bukan dinilai dari seberapa tinggi ia berdiri,
tapi seberapa dalam ia bisa mengakar dan memberi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...