Di antara jargon HR dan postingan LinkedIn yang penuh semangat palsu, budaya kerja modern menyembunyikan wajah aslinya: kejam, transaksional, dan munafik. Di permukaan, perusahaan tampil sebagai institusi yang “human-centric”, dengan kampanye kesehatan mental, ruang santai berisi beanbag, dan ucapan motivasional di setiap sudut dinding. Tapi di balik semua itu, tempat kerja tetaplah mesin industrial yang bisa menggiling manusia dengan senyum manajemen di muka dan pisau efisiensi di belakang.
1. Loyalitas: Barang Konsumsi Sekali Pakai
Di banyak perusahaan, loyalitas bukan lagi nilai, melainkan alat ukur kebodohan. Mereka menginginkan dedikasi tanpa syarat, kesiapan untuk bekerja lembur demi “keluarga besar perusahaan”, dan kesediaan untuk tetap diam meski gaji stagnan dan beban kerja membengkak. Namun ketika profit turun setengah persen, daftar PHK langsung dicetak tanpa berkedip.
Loyalitas tidak lagi dihargai, hanya dieksploitasi. Karyawan yang telah bekerja sepuluh tahun bisa digantikan oleh algoritma rekrutmen yang memilih fresh graduate dengan gaji seperempatnya. Tidak peduli seberapa besar pengorbanan, pada akhirnya semua hanya angka dalam laporan keuangan.
2. Kesejahteraan Karyawan: Pajangan Instagram
Perusahaan modern sangat pandai menciptakan ilusi peduli. Disediakan ruang meditasi, tetapi tidak ada waktu untuk menggunakannya. Ada program “mindfulness”, tetapi pekerjaan tidak pernah selesai. Bahkan ada kampanye “mental health awareness”, padahal tekanan target bulanan membuat karyawan mengalami insomnia kolektif.
Ini bukan kesejahteraan, ini pemasaran. Yang dipoles adalah citra, bukan realita. Kepedulian hanya berlaku selama bisa menaikkan engagement dan mempertahankan employer branding. Sementara itu, turnover tinggi dianggap normal, burnout dianggap bagian dari “proses berkembang”, dan kritik dianggap sebagai kurangnya “resiliensi”.
3. PHK Mendadak: Tradisi yang Dirayakan Diam-diam
Salah satu tradisi paling konsisten di dunia korporasi adalah pemutusan hubungan kerja mendadak, sering kali dibungkus dengan kalimat pasif-agresif seperti “reorganisasi”, “optimalisasi tim”, atau “penyesuaian strategis”. Tanpa peringatan, karyawan dipanggil ke ruang HR, disodori surat, diminta mengosongkan meja, lalu dilepas dengan ucapan “semoga sukses ke depannya”.
Yang paling menyakitkan bukan pemecatannya, tapi caranya: dingin, impersonal, dan selalu dibenarkan dengan narasi efisiensi. Padahal perusahaan yang bersangkutan baru saja memajang keuntungan tahunan dengan nada jumawa di media.
4. Dunia Pencari Kerja: Siklus Reproduksi Eksploitasi
Setelah didepak, mantan karyawan kembali ke pasar tenaga kerja yang sama-sama bermasalah. Harus mempercantik CV, membuat profil di berbagai platform, dan mulai ikut “webinar gratis” yang isinya hanya iklan terselubung. Hari-hari diisi dengan melamar ke ratusan posisi tanpa balasan, sambil membaca motivasi murahan dari orang-orang yang “berhasil bangkit” setelah PHK, padahal sebenarnya punya tabungan dari warisan.
Siklus ini terus berulang. Dari diperas sebagai karyawan, lalu dilempar sebagai pengangguran, dan akhirnya dijaring kembali sebagai “talent berkualitas”. Budaya kerja modern adalah bentuk kapitalisme berputar: menggiling manusia, lalu menjual harapan bahwa mereka bisa menjadi lebih baik... jika tetap diam dan terus tersenyum.
5. Senyum dalam Derita: Humor sebagai Mekanisme Bertahan Hidup
Tidak mengherankan jika banyak pekerja menyembunyikan kelelahan di balik tawa pahit. “Wkwkwk” bukan lagi ekspresi lucu, tapi pelarian psikologis. Tertawa karena menangis sudah tidak efektif. Humor menjadi satu-satunya ruang aman di tengah kantor yang merayakan "positive vibes" sambil memotong tunjangan.
Dalam lingkungan kerja seperti ini, emosi harus dikemas seperti presentasi: ringkas, tidak mengganggu, dan selalu ditutup dengan “terima kasih”. Karyawan dituntut untuk kuat, resilien, dan adaptable—bukan karena perusahaan peduli pada pertumbuhan personal, tapi karena itu lebih murah daripada menyediakan sistem perlindungan sosial yang layak.
Penutup: Di Balik Narasi Motivasi, Ada Eksploitasi
Budaya kerja modern tidak butuh revolusi, ia butuh diungkap dan ditertawakan. Dipecat tanpa sebab lalu diminta tetap bersyukur adalah bentuk kekerasan yang telah dilembagakan. Loyalitas dijadikan alat kontrol, kesejahteraan hanya kosmetik, dan rasa aman hanyalah bonus musiman.
Selama narasi “kerja keras pasti berhasil” terus dijual tanpa kritik, eksploitasi akan terus menyamar sebagai kesempatan. Dan selama karyawan masih diajari untuk tersenyum saat ditekan, maka dunia kerja akan tetap menjadi arena tertawa sambil terluka.
Bukan karena lucu, tapi karena pilihan lain sudah tidak tersedia.
Comments
Post a Comment