Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2025

Tech Winter dan Mitos “Nadiem 4.0”—Ketika Pasar Kerja IT Tak Semanis Ceritanya

  Sudah saatnya gelombang euforia berganti menjadi perenungan. Ini bukan lagi soal satu dua kisah sukses yang dibesar-besarkan, tapi masalah yang tengah terjadi secara luas. Dulu, Nadiem Makarim dianggap sebagai ukuran kesuksesan teknologi Indonesia. Banyak yang terlena, seakan-akan kesuksesan beliau nantinya akan menular pada siapapun yang belajar IT. Tapi sekarang? Suasananya berubah. Banyak yang tengah gelisah. Lulusan IT kesulitan mencari kerja, para profesional diberhentikan, dan lowongan kerja yang tersedia menyusut. Ini terjadi bukan karena mereka bodoh atau tak belajar. Ini terjadi karena memang tengah terjadi masalah yang lebih luas. Pasar kerja teknologi sedang jenuh. Jumlah pencari kerja terus bertambah, tapi lowongannya tidak sebanding. Dan ukuran kesuksesan masih diberatkan pada gelar, portofolio, dan stack teknologi — bukan pada kemampuan manusiawi yang dimilikinya. Dan di tengah masalah ini, para petinggi teknologi — CTO, CIO, dan VP — masih lebih sering...

Indonesia Gelap, Tapi Maafnya Terang Benderang

  Di negeri ini, kalau lampu mati semalaman di kampung-kampung, PLN bilang itu "pemeliharaan jaringan". Kalau rakyat bilang, “Indonesia Gelap,” maka Presiden menjawab, “Sorry ye, masa depan Indonesia cerah!” Kalau begitu, mungkin gelapnya cuma mati lampu sementara. Tapi kalau sudah bertahun-tahun rakyat terjebak dalam utang, upah minim, harga naik, anak-anak gagal sekolah, listrik doang yang padam, masa depan sih sudah blackout total. Lalu, ketika rakyat turun ke jalan, membawa tulisan spanduk seadanya: “Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu” , penguasa bukannya nyalakan senter, malah tuding, “Itu didanai koruptor!” Tentu saja, karena dalam logika rezim sekarang, yang miskin tak mungkin marah , karena katanya belum cukup cerdas untuk kecewa. Maka harus dicari dalangnya: koruptor. Semua demo dibiayai, semua suara dikendalikan, semua jeritan dianggap rekayasa. Bahkan keringat di dahi rakyat pun mungkin dianggap hasil setting-an CGI. Tapi Jangan Takut, Pengampunan Sedang Diskon Bes...

Antara Ukuran, Topeng Sosial, dan Ijazah yang Menguap

  Kalau hidup memang sebuah sandiwara, ukuran adalah properti penting di atas panggung. Ini bukan ukuran biasa — ukuran manusiawi — tapi ukuran yang dicipta demi memenuhi ekspektasi masyarakat. Seakan-akan manusia harus punya ukuran yang tepat demi dapat peran. Kalau ukuranmu gak sesuai, siap-siap saja dapat peran figuran. Kalau ukuranmu pas, selamat, kau boleh jadi pemeran utama… … ya, walau kadang peranmu gak lebih dari sebuah badut . 😂🔥 Makanya Masyarakat Mengirim Kode Sosial Kalimat satir, pepatah, dan joke kreatif lahir dari kebutuhan manusia untuk menyampaikan masalah tanpa menyulut pertempuran terbuka. Ini kayak sebuah “cheat code” di tengah game. Kalau di GTA , kau boleh punya cheat code “HESOYAM” demi uang dan health. Kalau di hidup, kau punya kalimat satir demi menjaga muka, menyelamatkan perasaan, dan pada saat yang tepat… menyenggol figur-figur yang memang pantas diberi peringatan. Budaya Pop dan Kontestasi Sosial Kalau kau perhatikan, kalimat satir seri...

Harga Rokok Naik, Akal Sehat Turun: Kisah Cukai, Candu, dan Cuan yang Salah Alamat

  Ada satu jenis kebijakan yang lahir dari niat baik, dibesarkan dengan logika mentah, dan akhirnya tumbuh menjadi monster: kebijakan kenaikan cukai rokok. Mari kita mulai dengan fakta yang katanya berniat mulia: dalam 5 tahun terakhir, cukai rokok naik 67,5%. Harapannya? Jumlah perokok turun, anak SMP dan SMA berhenti jajan tembakau, dan negara lebih sehat. Di atas kertas, ini terdengar bijaksana. Di dunia nyata? Malah seperti meminta orang putus cinta hanya dengan menaikkan ongkos ojek. Dan hasilnya? Kita tidak melihat jumlah perokok yang turun drastis, kita tidak melihat anak sekolah menyimpan uang jajannya untuk beli buku. Yang kita lihat adalah rokok ilegal makin berjaya , negara justru rugi puluhan triliun rupiah , dan perusahaan legal seperti HMSP dan GGRM... ya, mereka seperti korban silent treatment: tak diurus, tapi tetap disalahkan. Negara Naikkan Cukai, Pasar Balik Ngegas Kenaikan cukai rokok ini mirip sekali dengan logika pacar posesif: kalau sayang, harus dikeka...

Transfer Data, Transfer Harga Diri

 24 Juli 2025. Menteri Komunikasi dan Digitalisasi (Menkomdigi) berdiri percaya diri di podium. Dengan senyum yang (seolah) meyakinkan, ia mengatakan bahwa transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat akan menjadi “pijakan hukum yang aman dan terukur.” Kata kunci: aman dan terukur . Tapi aman untuk siapa? Terukur oleh siapa? Karena ketika seseorang berbicara tentang keamanan, kita berhak bertanya: apakah keamanan itu ditimbang berdasarkan standar bangsa sendiri, atau standar bangsa lain yang bahkan tak pernah mengakui kita sebagai rekan sejajar? Ketika seseorang bicara tentang ukuran, kita harus bertanya: apakah kita ini sedang mengukur hak rakyat, atau sedang menyesuaikan diri dengan penggaris asing? Kesepakatan yang Menyamar sebagai Kemajuan Kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS ini sudah terasa getir bahkan sebelum tinta pengesahan mengering. Produk Indonesia ke AS dikenakan tarif 19%, sementara produk AS ke Indonesia bebas bea 0%. Ini bukan simbiosis mutuali...

Dari Cemoohan ke Ketergantungan: Ketika Ego Disekolahkan oleh Teknologi

Dulu, memilih HP bukan sekadar urusan komunikasi. Ia adalah pernyataan sikap. Sejenis deklarasi politik personal. Pilihan terhadap merek tertentu bisa menandakan selera, kelas sosial, bahkan kecenderungan ideologis — meskipun pada akhirnya cuma buat nelpon pacar yang sekarang jadi istri. Saya ingat betul awal-awal saya memakai HP yang lebih dari sekadar alat SMS dan telepon — sekitar tahun 2000-an, ketika ringtone polifonik masih dianggap sebagai pencapaian estetika dan casing bening dianggap futuristik. Di tengah kerumunan manusia yang (nyaris) seragam dengan Nokia di tangan, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari itu. Saya tidak ikut arus. Saya pilih Sony Ericsson. Kenapa? Karena saya merasa Nokia itu terlalu “umum”. Terlalu banyak dipakai orang, terlalu mainstream, terlalu pasaran. Seperti mie instan di kos-kosan — semua orang punya, dan karena itu, jadi kehilangan nilai spesialnya. Sony Ericsson hadir dengan aura yang lebih niche , lebih “gue banget” — desainnya keren, el...

Koperasi Merah Putih, dan Filosofi Nasionalisme yang Tergadai

  Alkisah di sebuah republik yang katanya merdeka, lahirlah gagasan brilian—sebuah koperasi desa bernama Merah Putih. Warna-warna yang selama ini hanya kita temui di bendera, kini turun ke tanah. Merah darah perjuangan, putih tulang penggadaian. Koperasi Merah Putih, katanya, adalah harapan baru bagi ekonomi desa. Membawa dana triliunan rupiah seperti utusan langit yang turun di sore hari. Satu persatu kepala desa tersenyum, menyusun proposal sambil membayangkan selfie di depan spanduk bertuliskan “Lounching Koperasi Merah Putih”. Tanpa ‘a’ pun, nasionalisme tetap menggelegak. Ini adalah komedi sosial paling megah yang pernah disutradarai oleh negara. Pemeran utamanya: desa, koperasi, dan ilusi keadilan ekonomi. Pemeran pembantu: utang, data fiktif, dan gelar honoris causa dari universitas abal-abal. Negara, Pinjaman, dan Ilusi Kesetaraan Di buku-buku tua tentang ekonomi desa, tertulis bahwa koperasi adalah bentuk solidaritas rakyat kecil. Di dalam buku baru bernama dokumen kebijak...

Ketika Satu Imbuhan Mengubah Niat Jadi Adegan

Ada kalimat yang sering terdengar di warung kopi, ruang tunggu bidan, atau dari emak-emak yang lagi nyulam sambil nonton infotainment: “Buat anak kok coba-coba?!” Kalimat ini terdengar penuh keprihatinan. Nada yang menasihati, tapi juga menghakimi. Kayak penceramah dadakan yang baru baca status Facebook satu paragraf lalu merasa cukup untuk ceramah tiga bab. Tapi ada sesuatu yang menarik dari struktur kalimat itu. Coba kita perhatikan baik-baik: Kata “ buat ” di sana bukan kata kerja. Bukan aktivitas. Ia adalah preposisi — artinya "demi", "untuk", atau "diperuntukkan bagi". Kalau dibaca dalam konteks itu, kalimatnya jelas: “Kok bisa-bisanya kamu coba-coba, padahal ini demi anak?” Anak di sini adalah tujuan. Sesuatu yang hendak dicapai. Dan kata “buat” menjadi kendaraan moral untuk menyampaikan itu. Sebuah bentuk kepedulian yang, meski agak nyolot, masih hidup di wilayah “niat baik.” Tapi... Coba sekarang kita tambahkan imbuhan “mem-” ke kata...

Indonesia sebagai Federasi Kerajaan: Membayangkan Kembali Nusantara

Bayangkan sebuah Indonesia yang berbeda dari yang kita kenal sekarang. Sebuah negara yang bukan hanya sebuah republik yang besar, tetapi sebuah federasi dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah menguasai Nusantara. Dalam skenario ini, Indonesia terdiri dari negara-negara bagian yang masing-masing memiliki otonomi dan kekuatan sendiri, namun bersatu di bawah satu bendera. Mari kita telaah bagaimana bentuk negara ini, wilayah kekuasaannya, kekuatan geopolitiknya, pertahanan dan keamanannya, politik dalam negerinya, serta kebudayaannya. Wilayah Negara Federasi Indonesia Jika kita menggabungkan wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh Sriwijaya, Majapahit, Mataram Kuno, Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Ternate dan Tidore, kita akan mendapatkan sebuah negara dengan wilayah yang sangat luas, mencakup tidak hanya wilayah Indonesia modern tetapi juga bagian-bagian dari Malaysia, Thailand Selatan, Brunei, dan Filipina. Sriwijaya : Berpusat di Sumatera Selatan, Sriwijaya akan m...

“Hei Maling-Maling, Tunggu Dulu, Istrinya Juga Butuh Hidup”: Evolusi Gagah-Gagahan Menuju Negara dalam Tanda Petik

  Ada sebuah hukum alam yang tak tertulis tapi selalu berlaku dalam politik: semakin lantang teriak “aku tidak takut koruptor!”, maka semakin besar kemungkinan nanti kau akan mengajukan “keadilan” bagi istri dan anak si koruptor. Dan di negeri ini, hukum itu tampaknya baru saja naik jabatan. Mari kita buka lembaran Januari 2024. Kala itu, udara kampanye masih hangat, bendera-bendera belum layu, dan suara teriakan belum pecah karena realita. Di sebuah panggung penuh semangat di Bengkulu, seorang capres bersuara berat—bagai gabungan bariton tentara dan semangat sinetron azab—berteriak: “Hei maling-maling, koruptor-koruptor, Prabowo tidak pernah akan gentar terhadap kalian! Hei kaum munafik, hei antek-antek asing, Prabowo-Gibran bersama rakyat Indonesia!” Gemetar tanah. Getar rakyat. Gagah! Pedang keadilan tampak bersinar, siap menebas segala busuk. Luar biasa. Tapi kini mari kita lompat ke April 2025. Tanggalnya tak begitu penting. Yang penting adalah nadanya berubah. Seolah barito...

Superman Turun ke Gaza: Ilusi Kebenaran di Layar Hollywood

  Bayangkan ini: langit mendung, kamera bergoyang, anak kecil berlari sambil membawa bendera berlogo huruf "S", lalu terdengar ledakan. Kamera perlahan memperlihatkan sesosok pria berjubah merah mendarat dengan wajah serius dan rahang tegas. Tangan mengepal. Musik dramatis. Judul film muncul. "Superman: The Savior of the Oppressed." Dan umat pun bersorak: Allahu Akbar! Akhirnya Hollywood berpihak! Tapi tunggu dulu. Bukankah itu terlalu gampang? ✦ Satu-Satunya Kebenaran di Hollywood Adalah Layar Hijau Kita hidup di era di mana simpati bisa di- render , dan penderitaan bisa di- generate dalam 4K. Ketika kabar bahwa film Superman terbaru “membela Palestina” mulai viral, banyak umat Muslim yang serasa dapat oase di tengah padang ilusi. Seolah-olah dunia hiburan yang selama ini menyejajarkan pejuang kemerdekaan Palestina dengan teroris, kini sadar diri dan bertobat. Namun, di balik efek CGI dan jubah berkibar itu, kita harus bertanya: Apa benar Superman peduli p...

Suara dari Perpecahan: Kisah Perang Saudara Amerika

Pendahuluan (Suara Liam Neeson mulai berbicara dengan nada yang dalam dan penuh emosi) "Di tengah gemuruh senjata dan jeritan prajurit, Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19 menemukan dirinya terbelah oleh konflik internal yang mendalam. Perang Saudara Amerika, atau yang dikenal sebagai 'Civil War,' bukan hanya sebuah peperangan yang melibatkan senjata dan taktik militer, tetapi juga sebuah perang ideologi yang meruntuhkan fondasi bangsa. Sebuah konflik yang berlangsung dari tahun 1861 hingga 1865 ini membawa dampak yang luar biasa besar pada nasib bangsa dan rakyat Amerika." Latar Belakang "Untuk memahami Perang Saudara Amerika, kita harus menelusuri akar-akar yang menyebabkan terjadinya konflik ini. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, perbudakan, serta perbedaan ideologi politik antara Negara-negara Bagian Utara dan Negara-negara Bagian Selatan menjadi pemicu utama dari perang ini. Di Utara, industrialisasi berkembang pesat, menciptakan ekonomi yang berba...

Peradilan di Ambang Simbolisme: Ketika "Politik Bertopeng Hukum" Mementaskan Ironi

Sidang terhadap Tom Lembong — mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016 — hanyalah babak kecil dalam drama korupsi nasional. Vonis 4,5 tahun penjara atas dugaan kerugian hampir Rp600 miliar karena impor gula saat negara surplus, terasa ringan jika dibandingkan dengan besarnya kerugian dan kedalaman politisasi peradilan. Namun yang membuat momen ini mengguncang bukan hanya angka-angka yang dibacakan hakim, melainkan cara negara menata emosi publik lewat drama hukum. Saat Anies Baswedan duduk menyimak putusan, bersama Saut Situmorang dan Rocky Gerung, ruang sidang menjadi panggung pengadilan moral yang jauh lebih sunyi daripada kelihatannya. Gelengan kepala Anies, tawa getir yang muncul, dan pelukan diam Saut pada pundaknya adalah fragmen kecil dari kesadaran kolektif bahwa "hukum" kerap hanya berhenti pada ejaan, bukan kebenaran. Timpangnya Skala: Vonis Ringan vs Mega Korupsi Lembong dijatuhi vonis bukan karena memperkaya diri, melainkan karena keputusan administratif dalam...