Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2025

Keringat Kering, Hati Terbakar: Ketika Freelancer Diperlakukan Seperti Debu Siaran

Di dunia penyiaran, glamornya layar kaca ternyata tak mampu menutupi satu fakta busuk: freelancer dibayar semaunya, bukan semestinya . Di balik tawa presenter dan gemerlap lighting, ada pekerja lepas yang haknya ditahan berbulan-bulan—tanpa malu, tanpa empati, dan seringkali, tanpa alasan logis. Kami, para freelancer, bukan figuran dalam ekonomi industri kreatif. Kami menyumbangkan suara, ide, dan waktu tidur demi siaran yang katanya "berkelas." Tapi giliran bayar? Tunggu tayang dulu, katanya. Enam bulan belum juga lunas, katanya. Yang baru dibayar ya 3 bulan aja dulu, katanya. Yang penting “kerjasamanya tetap terjalin”, katanya. Seolah hak pekerja adalah opsional , bukan kewajiban. Dan untuk para petinggi produksi yang mungkin tidak takut pada pasal kontrak, izinkan saya memperkenalkan Anda pada satu “musuh” yang tidak bisa Anda tuntut balik di pengadilan negeri. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits shahih riwayat Bukhari: "Allah berfirman: Ada tiga golongan yang aka...

7 Tahun 6 Bulan 21 Hari

Berawal dari sebuah mimpi lalu aku katakan ke diri ini, "She's the one."  "Hai, maukah kamu menikah dengan aku nanti?" Sebuah pertanyaan yang absurd dari seorang mahasiswa baru ke mahasiswa baru lainnya. Untungnya dia tidak menganggap aku sebagai orang aneh. Yang menggunakan kalimat tersebut agar bisa membuatku berpacaran dengannya.  Dan setelah 7 Tahun 6 bulan 21 hari, akhirnya aku buktikan ucapanku. Hari ini genap 21 tahun sudah kami bersama di dalam sebuah biduk rumah tangga. Naik turun kehidupan kami hadapi dengan tangis dan tawa. Dan selama itu pula kami terus belajar. Bersama dengan tambahan dua orang anak yang Allah percayakan kehidupanmya kepada kami berdua. Duhai Zat Pemilik jiwa-jiwa kami. Yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Yang Memegang takdir atas akhir dari perjalanan kami. Ingatkanlah kami untuk selalu terus bersyukur atas segala nikmat dari Engkau. Kuatkanlah kami pada tali agama ini. Dan tetapkanlah hati-hati kami untuk selalu bersa...

Matinya Jurnalisme: Di Tangan Netizen Berkamera

Mari kita buka dengan sebuah ironi: jurnalisme tidak mati karena sensor. Ia tidak dibunuh oleh rezim otoriter atau tentara bersenjata. Ia justru mati di tangan netizen yang merasa cukup jadi wartawan hanya bermodal HP, kuota, dan ego. Kita sedang hidup di era di mana semua orang merasa berhak bicara, tapi tak semua orang tahu apa yang mereka bicarakan. Lebih parah lagi, tak semua orang peduli kalau yang mereka sebarkan salah. Karena yang penting bukan benar atau salah—tapi viral atau tidak . Dulu: Berita Dibuat, Diverifikasi, Dipertanggungjawabkan Di era media lama—TV dan cetak—jurnalisme itu kerja kolektif. Ada reporter di lapangan, editor yang memotong dan menyaring, produser yang mengkurasi, kameramen yang memastikan visualnya layak. Sebuah berita bisa butuh berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk akhirnya tayang. Prosesnya berlapis dan panjang karena menyangkut tanggung jawab hukum dan etika. Jurnalis sejati tak sekadar tukang lapor. Mereka belajar cara menulis yang jernih, meng...

Di Athena, Mereka Menulis Ulang Takdir

  (a tribute to Milan, 1994) Malam itu di Athena, bintang-bintang seolah bersiap menari untuk satu nama: Barcelona. Di udara, aroma keangkuhan menggantung lembut, dibalut jubah prediksi dan angka-angka. Mereka menyebut ini pertarungan yang tak setara. Di satu sisi: Dream Team. Di sisi lain: tim yang katanya cacat, pincang, dan kehilangan napas. Media menulis dengan tinta kepastian—"Barcelona akan menang." Mereka berbicara seolah sepak bola hanyalah statistik, dan kemenangan bisa disusun dengan algoritma. Mereka lupa satu hal: sepak bola bukan hanya soal nama di atas kertas. Sepak bola adalah 90 menit kenyataan. Dan kenyataan, kadang tidak membaca koran pagi. Di ruang ganti AC Milan malam itu, tak ada suara keras. Hanya tatapan tajam dan napas berat. Fabio Capello berdiri, bukan dengan rencana besar yang megah, tapi dengan satu pesan sederhana: "Biarkan mereka bicara. Biarkan mereka menulis. Malam ini... kita buat mereka menghapusnya." Tanpa Franco Baresi. Ta...

Mata Uang Baru: Apakah Kita Siap Menukar Retina dengan Kripto?

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan oleh berita tentang warga yang menerima Rp800.000 setelah memindai retina mereka untuk proyek Worldcoin. Sebagai respons, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan sementara operasi Worldcoin dan World ID di Indonesia. Langkah ini menyoroti kekhawatiran mendalam terhadap praktik pengumpulan data biometrik oleh perusahaan asing. Apa Itu Worldcoin dan World ID? Worldcoin adalah proyek yang didirikan oleh Sam Altman, CEO OpenAI, dengan tujuan menciptakan sistem identitas digital global yang dapat membedakan manusia dari kecerdasan buatan (AI). Melalui perangkat bernama "Orb," pengguna memindai iris mata mereka untuk mendapatkan World ID dan imbalan berupa token kripto Worldcoin (WLD). Perusahaan mengklaim bahwa data biometrik ini dienkripsi dan tidak disimpan secara permanen, namun tetap menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan keamanan data.  Mengapa Komdigi Membekukan Worldcoin di Indonesia? Komdigi memiliki beberapa...

Ketika Velocity Masuk Kurikulum: Sekolah atau Panggung Viral?

  Belakangan ini kita makin sering disuguhi pemandangan yang membuat jidat mengernyit: anak-anak SD berjoget lagu remix viral ala TikTok di halaman sekolah, lengkap dengan koreografi yang diambil mentah-mentah dari tren media sosial. Tidak jarang, momen ini terjadi di tengah class meeting, acara perpisahan, hingga senam pagi. Lebih mencengangkan lagi, guru-guru ikut larut dalam euforia, tampil berjoget di TikTok, bahkan mengajak murid-murid mereka untuk turut serta. Ramai? Iya. Seru? Mungkin. Tapi apakah ini pantas? Apakah ini mendidik? Sekolah: Tempat Didik Nilai, Bukan Normalisasi Tren Fungsi sekolah bukan hanya tempat transfer pengetahuan akademik, melainkan juga tempat penanaman nilai, pembentukan karakter, dan pendidikan adab. Ketika institusi pendidikan ikut memutar musik remix viral dan menjadikannya bagian dari aktivitas resmi sekolah, apa yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak? Bahwa semua yang viral boleh? Bahwa jadi bagian dari tren adalah sesuatu yang patut dirayakan...

Jokowi dan Reinkarnasi Janji: Dari Simbol Harapan ke Wajah Lama Kekuasaan

Ada masa ketika nama Joko Widodo terdengar seperti nyanyian baru dalam politik Indonesia. Seorang wali kota dari Solo yang berbicara dengan logat Jawa halus, mengenakan baju putih polos, dan terlihat kikuk kala diwawancara. Ia datang tanpa jas kebesaran partai, tanpa warisan politik, tanpa silsilah keluarga penguasa. Rakyat menyambutnya seperti fajar yang mengusir malam panjang penuh korupsi, feodalisme, dan politik dinasti. Tapi seperti banyak fajar yang terlalu cepat dielukan, kita lupa bahwa pagi bisa berubah mendung sebelum siang datang. Dari Solo ke Jakarta, dan kemudian ke Istana Merdeka, karier Jokowi menanjak secepat antusiasme rakyat. Saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia sempat menolak anggapan bahwa jabatannya hanyalah batu loncatan. “Saya akan menyelesaikan masa jabatan,” katanya. Namun belum dua tahun berjalan, ia sudah mendaftar jadi calon presiden. Banyak yang memaafkan. Waktu itu, euforianya masih kuat. Banyak yang berkata, “Lebih baik dia di istana d...

Jalan Panjang Menuju Kebaikan: Semua Orang Punya Kesempatan

Setiap Pendosa Punya Harapan, Setiap Orang Suci Punya Masa Lalu: Hidup Itu Tentang Perjalanan, Bukan Vonis! Kita hidup di dunia yang penuh drama. Dari yang dramanya skala nasional sampai yang cuma sebatas obrolan tetangga. Sering kali kita melihat orang-orang sibuk menghakimi—baik itu artis yang kedapatan melakukan kesalahan, pejabat yang tersandung skandal (lagi), atau bahkan teman sendiri yang dulu punya masa lalu 'gelap' dan tiba-tiba berubah jadi anak baik-baik. Seakan-akan, orang nggak boleh berubah dan kesalahan adalah label permanen yang harus mereka bawa seumur hidup. Tapi tunggu dulu, Oscar Wilde punya kutipan keren yang bisa kita jadikan pengingat: "Setiap orang suci memiliki masa lalu, dan setiap pendosa memiliki masa depan." Nah, kalau kita renungkan, kutipan ini bisa jadi tamparan halus buat kita semua yang hobi menghakimi, atau buat yang merasa hidupnya udah terlanjur ‘hancur’ dan nggak punya harapan. Masa Lalu Bukan Alasan Untuk Menghakimi Pernah nggak...

AI, Jurnalisme, dan Ilusi Penyelaras Akhir: Ketika Etika Tak Cukup, dan Empati Tak Dijamin

Di zaman ketika algoritma menulis lebih cepat dari jari manusia, dan kecerdasan buatan bisa menyusun laporan investigatif dari gunungan data dalam hitungan menit, dunia jurnalisme menghadapi pertanyaan yang tak bisa lagi ditunda: masih adakah ruang bagi manusia di tengah banjir kecerdasan buatan? Tentu saja ada yang mencoba menjawabnya dengan elegan. Dalam sebuah tulisan reflektif di LinkedIn, seorang jurnalis televisi menyebut bahwa peran jurnalis kini bergeser menjadi penyelaras akhir . Sebuah frasa yang terdengar puitis—nyaris spiritual—namun jika dikupas lebih dalam, bisa jadi justru menyembunyikan krisis yang lebih dalam. 1. Penyelaras dari Narasi Siapa? Apa artinya menjadi “penyelaras akhir” jika yang menyusun struktur, memilih diksi, dan bahkan membentuk narasi besar adalah mesin? Di titik ini, jurnalis bukan lagi penulis, tapi pengoreksi; bukan lagi penggali, melainkan pengarsip. Yang diselaraskan bukan lagi realitas, tapi simulasi realitas yang telah disajikan dalam format ...

Mengapa Pendidikan Vokasi Bisa Menjadi Bensin bagi Semangat Wirausaha Generasi Muda Indonesia

  Kita sering mendengar bahwa Gen Z Indonesia — yang lahir di era internet dan media sosial — punya semangat tinggi untuk mandiri dan kreatif. Tapi ketika kita lihat kurikulum di banyak sekolah, masih terasa "seragam", padahal dunia kerja sudah sangat dinamis. Pertanyaannya: apakah menyisipkan pendidikan vokasi sejak dini bisa menjadi kunci lahirnya wirausahawan masa depan? 1. “Skill Gap” Itu Nyata, Bukan Sekadar Istilah Keren Menurut data BPS dan Kemendikbud: Hanya sekitar 8,6% lulusan SMK yang benar-benar bekerja sesuai bidang keahlian vokasinya . Dan hanya 2 dari 10 siswa SMA yang pernah mendapatkan pelatihan keterampilan praktis seperti editing video, desain grafis, atau tata boga. Padahal, data dari World Bank menunjukkan bahwa 55% pekerjaan baru di ASEAN akan membutuhkan keterampilan teknis menengah. Dengan kata lain, banyak siswa punya ide , tapi tidak punya alat untuk mewujudkannya. 2. Kurikulum Merdeka: Ada Peluang, Tinggal Kita Gerak Kurikulum Mer...

Tenggelam dalam Masa Lalu: Nostalgia Sastra dan Keinginan Menjadi Abadi di Midnight in Paris

  Ada satu malam di Paris yang tidak akan pernah benar-benar berakhir—bukan karena lampu-lampu kota yang enggan padam, tapi karena imajinasi yang tak sudi pensiun. Gil Pender, tokoh utama dalam film Midnight in Paris , tidak hanya melangkahkan kaki di jalanan berbatu kota tua, tapi juga menyeberang waktu, memasuki dunia para penulis, pelukis, dan pemikir besar yang selama ini hanya ia kenal lewat buku, lukisan, dan catatan kaki sejarah. Bagi banyak orang, nostalgia adalah kenangan personal. Tapi bagi seorang pencinta sastra, nostalgia bisa jadi jauh lebih kolektif—sejenis kerinduan terhadap masa yang bahkan tak pernah kita alami secara langsung. Midnight in Paris memahami ini dengan sangat baik. Film ini tidak sekadar menyuguhkan kisah perjalanan waktu yang ajaib, tapi juga menawarkan perenungan mendalam: mengapa kita begitu mencintai masa lalu? Apa yang kita cari di sana? Masa Lalu Sebagai Rumah yang Tak Pernah Kita Tinggali Gil merasa terasing di zamannya. Ia hidup di era mo...

Lelaki Tidak Bercerita: Antara Ekspektasi dan Kesehatan Mental

  Ketika Lelaki Memilih Diam Ada satu hal yang sering terjadi, tapi jarang dibahas dengan serius: laki-laki dan kebiasaannya menahan cerita. Mereka lebih memilih diam, menyimpan sendiri segala rasa sakit, ketakutan, dan kegelisahan dalam hati. Bukan karena mereka tidak ingin berbagi, tetapi karena dunia mengajarkan bahwa bercerita bukanlah sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Sejak kecil, laki-laki sering mendengar kalimat seperti  "Jangan cengeng!" ,  "Laki-laki harus kuat!" , atau  "Jangan terlalu banyak mengeluh!"  Kata-kata ini secara tidak langsung membentuk pola pikir bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan. Padahal, semua orang, termasuk laki-laki, memiliki batas kesabaran dan ketahanan emosional. Maskulinitas dan Beban Emosi yang Terpendam Dalam psikologi, ada istilah  toxic masculinity  yang menggambarkan ekspektasi sosial bahwa laki-laki harus selalu kuat, tangguh, dan mandiri. Konsep ini bukan hanya membuat laki-laki sulit untuk be...

Winter is Coming, Tapi yang Datang Malah Konsorsium

Di sebuah negeri yang terletak di antara garis khatulistiwa dan jurang defisit bayangan, perebutan kekuasaan tak lagi semata-mata tentang mandat rakyat. Ia telah menjadi drama epik yang tayang setiap lima tahun, dengan aktor-aktor utama yang saling bertukar kostum antara penyelamat dan pelindas, tergantung dari posisi kamera dan hasrat kekuasaan. Jika Game of Thrones menyajikan medan laga dengan naga dan pedang, negeri ini menyajikan versi tropikalnya: pebisnis sakti, jenderal gaek, dan politisi oportunis yang setia pada siapa pun yang menjanjikan kursi. Mari kita mulai dari sosok pemimpin yang dulu dielu-elukan sebagai angin segar dari pinggiran. Ia bukan anak bangsawan politik, bukan pula trah konglomerat. Awalnya dipuja sebagai representasi rakyat biasa yang mendobrak dominasi elite. Tapi seperti Jon Snow yang perlahan menyadari bahwa mahkota datang dengan belenggu, sang pemimpin ini pun perlahan diselimuti oleh lingkaran kekuasaan yang lebih tua, lebih licin, dan lebih dalam dari ...

“Manusia Perak” dan Kemiskinan yang Mendunia: Potret Gagalnya Negara Mengurus Warganya

Pada 15 Mei 2025, media Korea Selatan, KBS News, merilis sebuah berita berjudul “Indonesia, jumlah warga miskin meningkat... ‘Manusia Perak’ di jalanan Jakarta” . Judul ini bukan hanya menyajikan fakta, tapi juga tamparan diplomatik secara tidak langsung bagi citra Indonesia di mata dunia. Saat negara sibuk menjual mimpi-mimpi besar kepada investor luar, dunia justru menyaksikan bagaimana rakyat di ibu kota mencari makan dengan mengecat tubuh mereka perak dan menari ala robot di lampu merah demi recehan. Realita ini bukan lagi masalah domestik—kemiskinan Indonesia kini telah menyeberangi batas negara dan menjadi tontonan internasional. “인도네시아 수도 자카르타 시내 도로에 은색 페인트로 온몸을 칠한 사람들이 눈에 띕니다. 현재에선 ‘실버맨’으로 불리는 이들은 정지한 차 앞에서 로봇 흉내를 내며 운전자들에게 돈을 받습니다. 25살 무난다르 씨는 일자리가 없어 가족 생계를 위해 선택한 일이라고 했습니다.” “Di jalan-jalan pusat kota Jakarta, ibu kota Indonesia, orang-orang yang mengecat seluruh tubuh mereka dengan cat perak menarik perhatian. Orang-orang yang kini disebut sebagai ‘Manusia Perak’ ini ...

Lapangan Kerja yang Dijanjikan, Pemutusan yang Diterima: Rezim Omong Kosong dan Negara PHK

Tiap kali musim kampanye tiba, udara dipenuhi aroma janji manis. Salah satu yang paling harum: “Kami akan membuka jutaan lapangan kerja.” Ya, lapangan kerja. Seolah-olah pemerintah punya kunci ajaib ke dunia paralel tempat semua orang sibuk bekerja, tertawa riang, dan tak ada satu pun yang kena PHK—kecuali mungkin yang ketahuan korupsi. Tapi sayangnya, di dunia nyata, yang dibuka bukan lapangan kerja. Yang dibuka malah pintu keluar dari pabrik, kantor, dan proyek. I. Janji: Lapangan Kerja Made in PowerPoint Pemerintah begitu percaya diri: investasi akan datang berbondong-bondong seperti jamaah haji ke tanah suci. Sementara rakyat disuruh bersabar karena pekerjaan akan terbuka seperti jalan tol di hari peresmian. UU Cipta Kerja pun dihadirkan seperti dewa penolong, disusun buru-buru dalam malam gelap saat rakyat tertidur, lalu disahkan dengan semangat gotong-royong lintas partai yang tiba-tiba sangat kompak—mungkin hanya bisa disaingi kekompakan mafia parkir. Tapi semua itu ternyata le...