Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2025

Lubang Peluru, Pesawat Tempur, dan Apa yang Nggak Kita Lihat

Zaman dulu, saat dunia masih terbakar oleh Perang Dunia II, ada satu pertanyaan sederhana yang bikin para ahli militer garuk-garuk kepala: “Gimana caranya bikin pesawat tempur kita lebih tahan tembak?” Mereka lalu melakukan hal yang terdengar masuk akal — menganalisis pesawat-pesawat yang berhasil pulang dari medan perang. Jadi setiap kali ada pesawat yang kembali, mereka catat di mana saja si pesawat ini bolong tertembak peluru musuh. Mereka bikin peta besar-besaran dengan titik-titik merah di badan pesawat. Dan hasilnya? Ada pola yang jelas. Mayoritas lubang peluru berada di bagian sayap, ekor, dan sebagian besar badan pesawat. Langkah logis selanjutnya? Tambahin lapisan baja di bagian-bagian yang paling banyak bolongnya itu. Toh, kalau itu yang paling sering kena tembak, berarti itu yang paling butuh perlindungan ekstra, kan? Tapi tunggu dulu. Di sinilah muncul satu nama yang belakangan jadi legenda di dunia statistik: Abraham Wald . Wald bukan tentara. Dia bukan insinyur pesawa...

Jika Dunia Terbakar: Sebuah Narasi tentang Perang Dunia III yang Mengintai

  Bayangkan langit berwarna tembaga. Awan-awan menggantung seperti firasat. Dan dunia, yang dahulu bernyanyi dalam simfoni diplomasi, kini memetik nada-nada terakhir sebelum senyap yang sangat panjang. Ini bukan permulaan kisah, ini adalah bab yang tertunda—perang yang tak lagi butuh deklarasi, hanya pemantik dan sedikit kegilaan. Dan di tengah pusaran sejarah, berdirilah dua tiang api: Iran dan Israel . Bukan sekadar dua negara, tapi dua dunia. Dua narasi. Dua kesumat. Dua alasan bagi dunia untuk mengulangi neraka yang dulu pernah disesali, tapi tak pernah benar-benar dipelajari. Blok-Barat: Mereka yang Berdiri Bersama Israel, Karena Tak Berani Sendiri Amerika. Selalu Amerika. Seperti dewa tua yang letih, tapi tetap ingin mengatur takdir. Mereka menggenggam Israel bukan karena cinta, tapi karena perjanjian, lobi, dan rasa takut. Takut kehilangan kendali. Takut dunia menemukan tatanan baru. Inggris, Prancis, Jerman — seperti orkestra klasik yang dipaksa memainkan lagu perang baru. ...

Dari Mengayomi ke Menggimmick: Ketika Seragam Polisi Lebih Mirip Kostum Tokusatsu

  Di negeri ini, ada dua hal yang selalu sukses memancing gelak tawa netizen tanpa harus bayar stand-up comedian: kebijakan pemerintah yang absurd, dan konten gimmick aparat berseragam. Kali ini, bintang utamanya datang dari institusi yang harusnya jadi pelindung rakyat, penjaga ketertiban, sekaligus simbol ketegasan hukum: Kepolisian. Tapi entah sejak kapan, seragam dinas yang dulu identik dengan wibawa, perlahan bergeser jadi bahan meme, cosplay tidak resmi, bahkan konten viral yang lebih layak masuk timeline Instagram ketimbang ruang sidang. "Mengayomi Tanpa Henti?" atau "Menghibur Tanpa Akal Sehat?" Coba kita telaah gambar yang beredar ini. Di latar belakang, ada burung Garuda bergaya Phoenix yang bersinar gagah, seolah habis menetas dari telur kebijakan publik yang katanya "reformasi." Barisan polisi berdiri dengan pose heroik, dada membusung, tangan mengepal, siap mengayomi… setidaknya dalam video. Tapi, alih-alih menghadirkan rasa aman, gambar itu ...

Dari Ojol ke Jurang: Ketika Negara Gagal Menyediakan Pekerjaan Formal

  Ketika driver ojek online memadati jalanan, bukan hanya penumpang yang mereka angkut. Mereka juga membawa beban berat dari sistem ekonomi yang pincang. Pekerjaan yang mestinya bersifat informal dan fleksibel, kini diperlakukan seolah-olah formal, namun tanpa perlindungan apapun dari negara maupun aplikator. Masalah ini bukan sekadar soal tarif potongan yang mencekik atau insentif yang semakin tak masuk akal. Akar permasalahan lebih dalam: kurangnya pekerjaan formal yang layak di Indonesia . Karena kekosongan inilah, jutaan orang akhirnya terjerembab ke gig economy sebagai jalan keluar instan. Sayangnya, jalan keluar ini tak pernah dimaksudkan untuk jadi fondasi kehidupan. Pekerjaan Formal yang Makin Menghilang Di negara dengan struktur ekonomi kuat, sektor formal seperti manufaktur dan jasa produktif menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mereka menawarkan kontrak kerja, jaminan sosial, hak cuti, dan perlindungan hukum. Namun di Indonesia, sektor ini tak kunjung tumbuh kokoh....

Sudut Pandang Itu Murah, Tapi Kebohongan Publik Bayarannya Mahal

Dalam dunia yang katanya serba transparan, satu hal tetap gelap gulita: niat di balik lensa. Dua foto yang viral—satu diambil dari samping, satunya lagi dari depan—menjadi cermin menyakitkan tentang bagaimana sesuatu yang seharusnya sederhana bisa didandani menjadi dramatis, kacau, bahkan menyesatkan. Sekelompok orang berdiri di trotoar kota. Dari samping? Biasa saja, orang-orang jalan santai. Dari depan? Mendadak terlihat seperti barisan panjang penuh kecemasan. Dua realitas, satu lokasi, beda narasi. Lalu seseorang berseru, “Itu hanya teknik fotografi!” Benar. Tapi hari ini, teknik semacam itu bukan cuma dipakai fotografer. Ia dipakai oleh yang lebih lihai: jurnalis nakal —makhluk berkamera dan pena, tapi lebih mirip dalang tukang gaduh ketimbang pencari fakta. Judul Memekakkan, Isi Menyesatkan Pernahkah Anda membuka berita dan merasa seperti baru saja ditampar oleh judulnya? “MENGEJUTKAN! Tokoh X Sebut Y Adalah Z!” Padahal isi beritanya? Sama mengejutkannya dengan cuaca mend...

Kargo Kesepian di Langit Barat Daya: Refleksi Satir Tentang Dunia yang Tak Lagi Netral

Di antara lautan logam bersayap yang terbang menghindar seperti anak-anak TK menghindari kerupuk sayur lodeh di jam makan siang, ada satu pesawat yang mencolok. Sebuah burung besi kesepian, terbang menembus ruang udara Iran yang sepi dari keramaian komersial. Tidak ada Emirates. Tidak ada Turkish Airlines. Tidak ada Singapore Airlines. Hanya satu—sebuah kargo China yang melintasi zona yang bahkan satelit pun mungkin memilih untuk menghindar. Foto ini viral. Bukan karena keindahannya, tapi karena absurditasnya. Sebuah titik keberanian—atau mungkin kenekadan—di antara kepengecutan yang global. Dan dunia diam. Tak satu pun misil dilepaskan. Tak satu pun tombol merah ditekan. Itu bukan karena kasih sayang. Tapi karena pesawat itu bukan siapa-siapa—atau justru karena dia "seseorang" yang lebih dari sekadar siapa-siapa. “That one lonely Chinese cargo plane no one’s got the guts to shoot down.” Kalimat ini bisa masuk kategori puisi, doa, atau ejekan. Di dunia tempat manusia diger...

Masa Kita Sudah Selesai: Sebuah Elegi untuk Mereka yang Pernah Menemani

Ada masa ketika hari Minggu pagi adalah puncak dari seluruh minggu. Saat suara khas pembuka Dragon Ball mengalun dari televisi tabung, saat sinyal UHF kita perjuangkan dengan antena gantungan baju, dan kita duduk bersila di lantai sambil makan roti tawar dan susu kental manis. Kita tidak punya Netflix, tidak punya streaming HD, tapi kita punya Goku — dan itu sudah cukup. Ada masa ketika Naruto bukan sekadar ninja, tapi perwakilan dari harapan kita sendiri. Harapan bahwa meski diremehkan, ditertawakan, dijauhi, kita bisa jadi sesuatu. Kita bisa berguna. Kita bisa diakui. Kita tumbuh bersamanya. Kita tahu rasanya sepi. Kita tahu rasanya tidak dianggap. Dan ketika akhirnya dia menikah dan jadi Hokage... entah kenapa, kita merasa seperti seorang sahabat yang diam-diam menangis di pesta pernikahan. Kita juga punya Luffy — si bodoh keras kepala yang punya impian mustahil: menemukan harta karun legendaris yang bahkan bentuknya tidak ada yang tahu. Tapi kita ikuti dia, bab demi bab, episode...

Chikahiro Naoya & Greta Thunberg: Dua Suara Nyaring di Tengah Kebisuan Istana

Bayangkan dua sosok asing bagi dunia Arab: Chikahiro Naoya, seorang koki ramen dari Jepang, dan Greta Thunberg, ikon aktivisme lingkungan dari Swedia. Mereka bukan Muslim, bukan keturunan Arab, tak punya keluarga di Gaza, tak punya tanah di Tepi Barat. Tapi dari jarak ribuan kilometer, suara mereka menggema lebih lantang daripada para penguasa Muslim yang memiliki tanah, kekuasaan, dan sejarah panjang bersama saudara-saudara mereka di Filistin. Greta baru-baru ini ikut serta dalam Freedom Flotilla menuju Gaza, berlayar dengan kapal "Madleen" bersama para aktivis lain untuk mengirim bantuan dan menantang blokade Isra-hell atas wilayah tersebut. Kapalnya dicegat oleh IOF. Ia ditahan dan kemudian dideportasi. Padahal yang ia bawa hanyalah satu kalimat sederhana: "Kita tak boleh diam saat terjadi genosida." Kalimat itu membuatnya didepak, bukan dari pesta, tapi dari wilayah yang konon demokratis. Sebelumnya, Greta juga aktif menyerukan boikot terhadap perusahaan seperti...

Perang, Sandiwara, dan Pengumpanan Amerika: Benang Merah dari Perang Dunia sampai Iran

  Kalau memang sejarah manusia dianggap sebuah sandiwara besar, maka tak dapat dimungkiri peran bangsa Yahudi — atau lebih luas, Zionisme — selalu punya tempat penting di balik layar. Ini bukan teori konspirasi murah, tapi sebuah pola yang dapat dilacak, dicocok-cocokkan, dan pada titik tertentu, memang tampak. Kalau memang memang kau teliti, sejarah Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Irak, dan sekarang pertempuran Iran-Israel, semuanya punya benang merah. Benang yang tengah ditenun demi kepentingan segelintir, demi sebuah visi geopolitik yang tak kasat mata. Perang Dunia I: Langkah Awal Zionisme Menggenggam Kendali Kalau memang kau perhatikan, Perang Dunia I bukan terjadi secara tiba-tiba. Ini bukan soal Pangeran Franz Ferdinand dibunuh, kemudian bergulir menjadi konflik luas. Ini soal kepentingan yang tengah bergelut di bawah permukaan. Zionisme, yang tengah mencari tanah air, menggunakan momentum Perang Dunia I untuk melobi Kerajaan Inggris. Deklarasi Balfour 1917...

SMK PGRI Lubuklinggau, Alfamart, dan Kejatuhan Ukuran Manusia

  Sebuah Satir Filosofis Tentang Peradaban yang Menyusut ke Dalam Kepala Sendiri Ada sebuah negara bernama Indonesia. Negara ini kaya akan tambang, laut, dan—sayangnya—ukuran palsu. Di negara ini, manusia tidak dinilai dari kebermanfaatannya. Tidak dari kejujuran kerjanya. Bukan pula dari kemampuannya berdiri di atas kaki sendiri. Tapi dari tiga ukuran purba: gelar, gaji, dan gengsi. Ukuran yang diwariskan bukan oleh Plato, melainkan oleh prasangka tetangga. Ukuran yang tak ditimbang oleh nilai, melainkan oleh posisi di LinkedIn dan judul belakang nama. Ukuran yang tidak menilai isi kepala, tetapi hanya isi bio Instagram. Dan seperti itulah, sebuah unggahan sederhana dari SMK PGRI Lubuklinggau menjadi bulan-bulanan netizen: Seorang alumni bekerja di Alfamart. Ya. Alfamart. Tempat di mana ibu-ibu membeli sabun dan pulsa. Bagi mereka, ini bukan prestasi. Ini prestasi yang “turun mesin”. Ini ironi. Ini “tragedi”. Tapi tunggu dulu. Ukuran Kerdil dari Kepala yang Membesar...

Loyalitas dalam Derita: Epos Kapten yang Tak Berkhianat

Fajar kelam menyelimuti Turin. Di langit yang muram, cahaya kejayaan Juventus perlahan meredup, tergerus gelombang hukuman yang menjatuhkan mereka ke lembah pengasingan Serie B. Skandal telah menenggelamkan kapal megah itu, membuat banyak ksatria mempertanyakan kesetiaan mereka. Di antara mereka, ada dua nama besar—Alessandro Del Piero, sang kapten agung yang menjadi jiwa klub, dan Fabio Cannavaro, sang peraih kejayaan di kancah dunia. Malam itu, Cannavaro mendatangi Del Piero, membawa kabar dari negeri yang lebih cerah. Real Madrid, istana putih nan megah, telah membuka gerbangnya, menawarkan pelarian dari kegelapan yang menyelimuti Juventus. "Alex," ucap Cannavaro, suaranya penuh harap, "kau tidak harus ikut tenggelam dalam kehancuran ini. Madrid menginginkanmu. Kita bisa tetap bersinar di tempat lain." Namun, Del Piero hanya tersenyum kecil, senyum seorang pria yang telah bersumpah pada tanah tempatnya berpijak. Dengan tatapan yang teguh, ia berkata: "Tidak...

Jika Lincoln Bangkit di Era Trump: Antara Martabat Lama dan Kekacauan Baru

Bayangkan sebentar. Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, sang Emansipator yang mengakhiri perbudakan, kini duduk di sebuah diner retro, mengenakan setelan khas abad ke-19 tapi memegang segelas soda ukuran super dan menyantap burger dengan bendera kecil Amerika tertancap di atasnya. Terlihat santai, tapi tatapannya tegas. Kaku, seperti menyimpan segudang tanya. Seolah-olah ia baru saja bangkit dari kubur dan bertanya: "Negara ini jadi begini sekarang?" Lincoln hidup kembali di era Donald Trump. Sebuah eksperimen sosial yang bahkan para penulis fiksi distopia pun mungkin ragu menuangkannya ke halaman pertama. Mari kita tidak terlalu sopan di sini. Jika Lincoln memang benar-benar bangkit hari ini, ia akan mengalami semacam shock budaya tingkat dewa. Negara yang dulu ia perjuangkan dengan darah, pidato, dan perang saudara—kini terlihat seperti sirkus politik penuh badut, influencer, dan korporasi yang mengatur lebih banyak daripada parlemen. 1. Dari Gettysburg ke ...

CV Kosong, Hidup Penuh: Sebuah Pleidoi untuk Mereka yang Pernah Menghilang

  Di dunia kerja modern, ada satu dosa besar yang tak bisa ditebus dengan ijazah, pengalaman, apalagi sertifikat pelatihan daring dari platform berlogo ungu: menganggur terlalu lama. Tak peduli seberapa cerdas kamu, seberapa dalam kamu merenung, atau seberapa banyak hidup yang kamu tata ulang selama masa “vakum” itu—selama ada jeda menganga di CV-mu, maka kamu tak lebih dari sekadar gap year creature yang dicurigai. Mereka tak akan bilang terang-terangan. Dunia korporat terlalu sopan untuk itu. Tapi lihat saja caranya mereka mengerutkan dahi saat membuka lembar riwayat hidupmu. Mereka tak membaca dengan rasa ingin tahu, tapi dengan radar penciuman yang mengendus ketidaksesuaian seperti anjing pelacak. “Dua tahun nggak kerja, ya? Ngapain aja selama itu?” Sebuah pertanyaan yang sebenarnya berbunyi: "Apa kamu masih pantas kami bayar?” Dunia yang Menyembah Garis Lurus Dunia kerja seperti punya fetish terhadap grafik karier yang naik terus seperti tanjakan harga properti di kota met...

Wkwkwk Dulu, Burnout Kemudian: Satir tentang Budaya Kerja Palsu yang Mengaku Peduli

Di antara jargon HR dan postingan LinkedIn yang penuh semangat palsu, budaya kerja modern menyembunyikan wajah aslinya: kejam, transaksional, dan munafik. Di permukaan, perusahaan tampil sebagai institusi yang “human-centric”, dengan kampanye kesehatan mental, ruang santai berisi beanbag, dan ucapan motivasional di setiap sudut dinding. Tapi di balik semua itu, tempat kerja tetaplah mesin industrial yang bisa menggiling manusia dengan senyum manajemen di muka dan pisau efisiensi di belakang. 1. Loyalitas: Barang Konsumsi Sekali Pakai Di banyak perusahaan, loyalitas bukan lagi nilai, melainkan alat ukur kebodohan. Mereka menginginkan dedikasi tanpa syarat, kesiapan untuk bekerja lembur demi “keluarga besar perusahaan”, dan kesediaan untuk tetap diam meski gaji stagnan dan beban kerja membengkak. Namun ketika profit turun setengah persen, daftar PHK langsung dicetak tanpa berkedip. Loyalitas tidak lagi dihargai, hanya dieksploitasi. Karyawan yang telah bekerja sepuluh tahun bisa digan...

Gengsi Lebih Mahal dari Harga Diri: Ketika Orang Kaya Bohongan Berlomba Beli Tas Ular

  Pendahuluan: Ilusi Kemewahan yang Menipu Di era di mana validasi sosial lebih dicari daripada kebenaran, tidak heran bila simbol status menjadi mata uang utama. Kita hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi merek, bukan makna; logo, bukan logika. Dan di sinilah dimulai kisah yang absurd namun nyata—tentang tas tangan, ular piton, dan orang-orang yang rela membayar harga setengah miliar rupiah hanya demi gengsi. Kulit Piton dan Kapitalisme Fashion Di Sumatera, ular piton menjadi komoditas. Bukan karena nilai ekologisnya, tapi karena kulitnya bisa diubah menjadi tas eksklusif oleh merek-merek fashion ternama seperti Hermès dan Prada. Seekor piton dihargai Rp300.000 oleh para pencari, dijual Rp1.000.000 ke pengepul, dan kemudian—setelah perjalanan panjang dan branding mewah—berubah menjadi tas seharga Rp500.000.000. Total bahan dan biaya produksi tak lebih dari Rp5 juta. Sisanya? Murni strategi pemasaran. Hermès, misalnya, hanya memproduksi 15 tas kulit piton untuk koleksi musi...