Tahun 2004, hidup saya resmi dimulai di jalur dua arah: rumah tangga dan jalur macet menuju kantor. Saya baru menikah, dan pindah ke Sukatani, Depok—sebuah kawasan yang saat itu masih sunyi, lebih banyak pepohonan dibanding bangunan beton. Tapi ada satu masalah eksistensial yang langsung saya rasakan: bagaimana caranya pergi kerja ke Jakarta tanpa kehilangan kewarasan. Kantor saya di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Sementara rumah? Yah, jauh di pinggir peta. Setiap hari saya seperti ikut ajang "Survivor" versi urban. Rutenya begini: naik ojek pangkalan ke Cibubur Junction, lanjut angkot nomor 56 ke UKI, lalu sambung bus ke Blok M. Itu pun kalau semua berjalan lancar. Sayangnya, kata "lancar" di lalu lintas Jakarta—apalagi dari wilayah pinggiran—lebih mitos daripada realita. Di pagi hari, angkot 56 jadi rebutan. Bukan cuma saya, tapi ratusan orang yang entah mau ke kantor, sekolah, atau sekadar cari peruntungan di ibukota. Kadang rasanya seperti adegan film ...