Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2025

Ikatan yang Tidak Bisa Dipahami: Ketika Ukhuwah Menjadi Nyawa Umat Islam

Di dunia yang semakin bising dengan retorika kebebasan, globalisme, dan solidaritas universal, ada satu jenis ikatan yang tak bisa ditiru oleh slogan-slogan kosong itu: ukhuwah Islamiyah. Bukan sekadar kedekatan emosional, bukan sekadar kepentingan politik, apalagi sekadar kemanusiaan generik. Ini adalah ikatan iman — hubungan batiniah yang ditanamkan langsung oleh wahyu langit. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10) Ayat ini bukan kutipan hiasan. Ia adalah fondasi sosial umat Islam. Persaudaraan bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban. Bukan sekadar wacana manis di seminar internasional, tapi darah dan napas yang menghidupi umat ini. Nabi Muhammad Saw. menguatkannya dengan sabda-sabda yang tajam: "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya, tidak menghinanya, dan tidak merendahkannya." (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim) "Orang mukmin terhadap mukmin ...

Bara yang Tak Pernah Padam: Sebuah Cerita tentang LA 1992

Kadang, kalau kita dengar kata "kerusuhan," yang kebayang cuma api, suara pecahan kaca, sirene meraung, orang-orang berlarian. Tapi di Los Angeles tahun 1992, lebih dari itu yang terbakar. Yang benar-benar hancur adalah rasa percaya — kepada hukum, kepada sesama, kepada negara. Semua meletup setelah dunia melihat dengan mata kepala sendiri: Rodney King, dihajar brutal oleh empat polisi, terekam kamera, lalu dilepaskan tanpa hukuman. Dan dalam sekejap, LA seperti meledak. Jalanan berubah jadi medan tempur. Toko-toko dibakar, orang-orang bersenjata menjaga atap-atap bangunan, dan di udara, selain asap, ada rasa marah yang kental — rasa marah yang sudah terlalu lama ditahan. Orang-orang seperti Mr. Kim, pemilik toko kecil di Koreatown, akhirnya harus memegang senjata sendiri. Di atap toko, malam-malam tanpa tidur, mereka berjuang bukan cuma untuk properti, tapi untuk eksistensi — untuk hak dasar di negara yang seringkali terasa bukan milik mereka. Sementara itu, dari su...

Ketika Perisai Menjadi Pedang: Luka di Balik Jubah yang Diklaim Suci

Ada ironi besar dalam dunia yang mengatasnamakan kebenaran, tetapi kemudian justru melukai nurani publik. Di antara kelompok yang mengaku sebagai penjaga akidah, pelindung ajaran tradisional, dan pengawal moral bangsa, ternyata tersimpan bara busuk yang semakin sulit ditutupi. Kita bicara tentang sekelompok barisan yang sering memakai seragam loreng hijau, yang suka tampil di garda depan menolak pengajian ustadz-ustadz tertentu, yang membanggakan diri sebagai benteng "Ahlussunnah". Entah kenapa, mereka tampak sibuk membangun pagar-pagar kecurigaan ketimbang memperluas ladang dakwah dengan akhlak. Seringkali pengajian-pengajian yang damai — terutama dari kalangan yang mereka stempel sebagai "wahabi" — diusik, diblokir, bahkan ditolak secara terang-terangan. Seolah umat ini milik mereka sendiri. Lucunya, di balik slogan "menjaga akidah," justru tercium aroma busuk yang menusuk. Beberapa figur penting dari barisan ini belakangan terseret skandal memalukan. Ad...

Negara Ini Cuma Punya “House”, Bukan “Home”

Ada bedanya punya rumah dengan punya tempat pulang. Kita bisa saja tinggal dalam bangunan megah, berdinding kokoh, beratap genteng mahal, tapi tetap merasa asing dan kesepian di dalamnya. Dalam bahasa Inggris, ini dibedakan dengan jelas: house adalah struktur, home adalah jiwa. Satu dibangun dengan uang, satunya lagi dibangun dengan kehangatan dan keadilan. Negara ini—Indonesia—sering kali hanya terasa seperti house . Bangunan megah yang diklaim sebagai rumah bersama, tapi terlalu sering tak terasa hangat, apalagi adil, untuk semua penghuninya. Bangunan yang Megah Tapi Kosong Setiap kali pemerintah memamerkan proyek infrastruktur—tol baru, pelabuhan, kereta cepat, atau bandara bertaraf internasional—kita diajak bangga. Seolah itu bukti bahwa negeri ini sedang melesat maju. Tapi ketika warga desa harus membayar mahal sekadar untuk naik angkot yang mogok, atau antre berjam-jam di Puskesmas yang minim obat, euforia itu langsung berubah jadi euforia palsu. Negara membangun house yan...

Keledai yang Memikul Kitab Suci Tetaplah Seekor Keledai

Pernah lihat keledai bawa kitab suci? Nggak usah jauh-jauh membayangkan, cukup pahami makna dari pepatah ini: “A donkey carrying a pile of holy books is still a donkey.” Sekilas, kalimat ini terdengar lucu, tapi kalau direnungkan, nyesek juga. Karena bukankah banyak di antara kita yang tak ubahnya seperti keledai itu? Penuh ilmu, tapi kosong makna. Bayangkan ada seseorang yang mengoleksi buku-buku filsafat, tapi hidupnya masih penuh dengan prasangka dangkal. Atau seseorang yang hafal banyak ayat dan hadis, tapi kelakuannya jauh dari nilai-nilai itu. Mereka bagaikan keledai yang memikul kitab suci—memuat begitu banyak ilmu di punggungnya, tapi tak menyerap esensinya. Beban Ilmu Tanpa Pemahaman Ada orang yang bangga bisa mengutip teori-teori hebat, tapi kalau disuruh menerapkannya dalam kehidupan, malah bingung. Ada yang rajin mengikuti seminar motivasi, tapi tetap malas bergerak. Ada juga yang suka menasihati orang lain tentang kebijaksanaan, tapi hidupnya sendiri berantakan. Ilmu itu ...

Semper Fidelis: Kesetiaan yang Membuat Hidup Lebih Bermakna

  Kesetiaan itu ibarat lem yang merekatkan banyak hal dalam hidup—hubungan, persahabatan, pekerjaan, bahkan cara kita melihat diri sendiri. Semper Fidelis , atau "Selalu Setia", bukan cuma semboyan keren yang dipakai Korps Marinir Amerika Serikat sejak 1883. Ini adalah filosofi yang bisa kita terapkan dalam keseharian, sesuatu yang membuat hidup lebih berarti. Kesetiaan: Nggak Sekadar Kata-Kata Kita sering dengar kata "setia", tapi sejauh mana kita benar-benar menjalankannya? Kesetiaan bukan cuma soal bertahan dalam situasi nyaman, tapi juga tetap ada saat keadaan sulit. Dalam kehidupan, kesetiaan bisa kita temukan dalam berbagai bentuk—kesetiaan pada pasangan, keluarga, sahabat, pekerjaan, bahkan pada diri sendiri. Bicara soal setia, banyak orang berpikir ini hanya soal hubungan asmara. Padahal, lebih luas dari itu. Setia pada impian, prinsip, atau bahkan janji kecil yang pernah dibuat juga punya makna besar. Ini soal konsistensi, tentang bagaimana kita tetap berdi...

Mantan Presiden di Panggung Duka: Drama Selembar Ijazah, Aroma Korupsi, dan Simfoni Bangsa Terbelah

  Bayangkan sebuah requiem yang seharusnya khidmat: lonceng Vatikan berdentang, umat Katolik dari lima benua menggenggam rosario, Paus Fransiskus berbaring dalam damai, dan—tiba‑tiba—kamera internasional menyorot seorang tamu negeri tropis yang masih dibebat isu ijazah palsu serta “gelar” finalis koruptor global versi OCCRP. Begitu Republik Indonesia—melalui keputusan Presiden Prabowo—memasang Joko Widodo di barisan pelayat utama. Dari altar Roma, aroma skandal tercium sampai pojok warung kopi Nusantara. 1. Prelude: Requiem yang Bergeser Nuansa Paus Fransiskus wariskan tiga nada kunci: option for the poor , perlawanan pada pelembek moral, dan retorika antikorupsi yang tajam seperti pedang bermata dua. Ironi lahir ketika tamu resmi kita justru terseret narasi pelemahan KPK, cawe‑cawe MK demi putra mahkota, serta drama ijazah yang tak kunjung tuntas. Vatikan laksana panggung megah; lensa media global menjadi sorot lampu; dan bangsa kita—bukannya tampil teduh—m...

Rindu yang Tak Berpulang

Langit sore itu redup, seolah menyimpan rahasia yang berusaha ia sembunyikan. Aku duduk di teras sebuah rumah kos, menyesap secangkir teh bersama seorang kawan. Udara dingin merambat pelan, namun tiba-tiba hangat menjalar di dadaku saat mataku menangkap sosoknya. Seorang perempuan melintas, langkahnya tenang, seolah tak ingin dunia tahu betapa indah dirinya. Ia menyapa kawanku dengan senyum yang sederhana namun meninggalkan jejak mendalam. "Siapa dia?" tanyaku pelan. "Itu Sinta," jawab Rina, kawanku. Aku hanya mengangguk, namun diam-diam pikiranku mulai bertanya-tanya tentang dia. Waktu seolah bersekongkol hingga aku dan Sinta kian sering berbincang. Mulai dari obrolan ringan soal kuliah hingga diskusi panjang soal hidup dan masa depan. Di mataku, Sinta adalah perempuan cerdas yang tak hanya cantik, tapi juga penuh keyakinan. Pernah suatu kali, aku membantunya pindahan kos. Kami berdua menghabiskan waktu di kamar yang penuh kardus dan buku. Teman-temannya mulai meng...

Kalau Nggak Bisa Membantu, Setidaknya Jangan Menyakiti

Dalam hidup ini, nggak selalu kita bisa membantu semua orang. Kadang kita ingin, tapi nggak mampu. Kadang kita peduli, tapi nggak tahu harus berbuat apa. Dan kadang, kita cuma bisa diam, melihat seseorang berjuang dengan masalahnya sendiri. Tapi satu hal yang pasti, kalau kita nggak bisa membantu, setidaknya jangan sampai kita malah menyakiti. Mungkin terdengar sederhana, tapi kenyataannya, banyak orang yang tanpa sadar menambah luka bagi orang lain. Entah lewat kata-kata yang tajam, sikap yang dingin, atau tindakan yang meremehkan. Padahal, dunia ini sudah cukup berat buat banyak orang. Hidup sendiri sudah penuh tantangan, jadi kenapa harus menambah beban dengan menyakiti? Bayangkan seseorang yang sedang berjuang menghadapi masalahnya sendiri. Dia mungkin sedang terluka, kecewa, atau putus asa. Dan di tengah perjuangannya, bukannya mendapat dukungan, dia justru mendapat ejekan, kritik yang tidak membangun, atau perlakuan yang menyakitkan. Bukankah itu sama saja dengan menendang seseor...

Mustafa Kemal, Perusak Peradaban: Dari Turki Sekuler Menuju Palestina Terjajah

"Sebagai anak muda, saya punya pahlawan. Ikon saya adalah Mustafa Kemal." — Seorang pemimpin negeri yang (katanya) mayoritas Muslim Kalau ada kontes tokoh paling ironis yang dipuja oleh umat yang ia tindas secara ideologis, Mustafa Kemal pasti pulang dengan medali emas, sertifikat kehormatan, dan sambutan marching band. Dan anehnya, piala itu mungkin akan diserahkan langsung oleh tokoh-tokoh dunia Islam sendiri—lengkap dengan standing ovation dan senyum penuh ketidaktahuan. Babak I: Dari Kongres Bassel Menuju Balfour Mari kita mundur sedikit ke tahun 1897, ketika Theodore Herzl dan kolega Yahudinya berkumpul di Bassel, Swiss, dalam Kongres Zionis Internasional pertama. Mereka menyepakati tujuan yang sederhana — membangun "Tanah Air Yahudi di Palestina yang dilindungi undang-undang." Terjemahan bebasnya: "Kami mau rumah di tanah orang, tolong sahkan." Dan sungguh, seperti sihir dalam dongeng Eropa, dalam waktu kurang dari 30 tahun setelah itu, kekhalifahan...

Untuk Cookie, di mana pun kamu sekarang

  Cookie tersayang, Hari ini, rumah terasa lebih sunyi. Tidak ada suara langkahmu yang pelan, tidak ada tatapan matamu yang lembut, dan tidak ada sentuhan hangat tubuhmu yang dulu selalu mencari tempat di samping kami. Hari ini, kami harus belajar merelakan, meski hati belum siap. Kamu sudah lebih dari sekadar kucing. Kamu adalah keluarga. Sepuluh tahun lebih kamu menemani kami — dari pagi yang riuh sampai malam yang hening, dari tawa sampai air mata. Kamu hadir dalam setiap momen kecil kami, diam-diam mengikatkan diri lebih dalam dari yang pernah kami sadari. Kami ingat betul bagaimana kamu tak pernah sekalipun merepotkan. Kamu anak yang baik. Tidak pernah mencuri makanan, tidak pernah marah, bahkan saat tubuhmu mulai renta dan sakit pun, kamu tetap lembut. Tidak ada cakar, tidak ada gigitan. Hanya tatapan penuh percaya dan cinta yang membuat kami semakin hancur melihatmu lemah. Istriku, yang dengan sabar menyuapi dan membujukmu makan, menangis hari ini. Tapi juga bersyukur, ...

Surga di Tikungan, Neraka di Lampu Merah

Ada satu keistimewaan hidup di negeri ini yang mungkin tidak banyak disadari: pahala itu bisa datang tiba-tiba, tanpa direncanakan, tanpa harus repot-repot berbuat baik secara sadar. Hidup saja sudah dapat bonus amal. Kok bisa? Ya karena kezaliman yang merajalela seolah jadi mesin ATM pahala bagi rakyat yang kena getahnya. Coba bayangkan, Anda sedang berkendara dengan patuh. Lampu merah menyala, Anda berhenti seperti warga negara yang taat hukum. Tapi tiba-tiba dari belakang, mobil berpelat nomor 'pejabat style' nyelonong lewat tanpa rasa bersalah. Polisi yang berdiri di pojokan malah pura-pura main HP, entah nonton video kucing atau skimming berita tentang "integritas aparat." Anda yang berhenti dengan taat aturan malah berujung kena klakson mobil belakang yang nggak sabaran. Di situ Anda marah? Jangan. Tahan emosi. Ingat, pahala sedang menetes ke tabungan akhirat Anda. Masih kurang contoh? Oke, coba saat Anda sakit dan pergi ke rumah sakit pemerintah. Anda antre pa...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...

Selamat Datang di Dunia Ormas Seragam Militer: Si Jagoan Tanpa Tugas Jelas

Pernahkah Anda berjalan-jalan santai di lingkungan Anda, menikmati udara segar, lalu tiba-tiba merasa seperti berada di zona perang karena bertemu dengan segerombolan orang berseragam militer? Jangan khawatir, Anda bukan sedang dijajah! Anda hanya bertemu dengan ormas lokal yang hobi tampil ala-ala tentara, tanpa tahu tugas sebenarnya apa. Seragam Mentereng, Tugas Mengawang Mereka hadir dengan seragam yang nyaris membuat tentara asli tersenyum simpul: loreng-loreng, baret, bahkan lencana yang entah dari mana asalnya. Dengan dada dibusungkan dan langkah tegap, mereka terlihat siap menghadapi musuh. Tapi musuh siapa? Mungkin musuh imajiner mereka sendiri, karena seringnya yang mereka lakukan adalah mengatur lalu lintas yang sebenarnya sudah diatur, atau bahkan mengatur parkir di wilayah yang tidak membutuhkan pengaturan. Sok Jagoan di Jalanan Jangan heran jika Anda melihat mereka dengan gaya sok jagoan, berteriak-teriak di jalanan, membuat masyarakat sekitar ketakutan. Mereka mungkin ber...

Ketika Kritik Disebut Benci, Demokrasi Mulai Mati

Di negeri yang katanya demokratis, ada satu fenomena yang selalu muncul setiap kali ada kritik terhadap pemerintah: para fanatik garis keras langsung naik darah. Kritik sedikit, langsung dicap benci. Tanya kebijakan, dituduh tak menghargai pemimpin. Dan yang lebih parah, fenomena ini nggak cuma terjadi di kalangan awam, tapi juga menjerat mereka yang bergelar tinggi. Profesor, doktor, akademisi—mereka yang seharusnya berpikir kritis, malah ikut terseret dalam pengkultusan individu. Jadi, kenapa semua kebijakan pemerintah harus dikritisi? Kenapa banyak orang sulit membedakan antara pemimpin sebagai individu dan pemimpin sebagai pejabat publik? Dan kenapa, oh kenapa, fanatisme politik bisa melumpuhkan logika? Kritik Itu Wajib, Karena Pemerintah Itu Bukan Nabi Seperti yang dikatakan Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan itu candu, dan semakin lama seseorang menggenggamnya tanpa diawasi, semakin besar kemungkinan mereka menyalah...

Industri Musik Modern dalam Jeratan Repetisi

Industri musik telah berkembang pesat selama beberapa dekade, tetapi ada satu fenomena yang semakin mencolok dalam lagu-lagu pop modern: lirik yang minim kosakata dan repetitif. Jika dulu seorang musisi bisa menulis dan menggubah lagu seorang diri dengan makna yang mendalam, kini banyak lagu dikerjakan oleh tim besar yang terdiri dari banyak penulis dan produser, tetapi hasil akhirnya justru terasa lebih sederhana. Mari kita telaah beberapa contoh lagu yang secara ekstrem menampilkan repetisi lirik, serta bagaimana tanggapan dari dunia musik dan pendengar awam terhadap fenomena ini. 1. "Run the World (Girls)" – BeyoncĂ© Lagu ini memiliki semangat pemberdayaan perempuan, tetapi secara lirik, struktur lagunya sangat repetitif. Dalam chorus, kalimat: "Who run the world? Girls!" diulang berkali-kali tanpa banyak variasi. Dalam industri musik modern, lagu ini melibatkan 6 penulis lagu dan 4 produser —jumlah yang luar biasa besar untuk lagu dengan lirik yang terbatas. Tan...